Kamis, 23 Maret 2017

KENDENG MENUNDUKKAN KEPALA

KENDENG MENUNDUKKAN KEPALA

Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017

Sejak Senin 13 Maret 2017, warga pedesaan di kawasan bentang alam karst Kendeng memulai aksi kolektif untuk memprotes pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menanggapi penolakan warga kawasan Kendeng terhadap rencana pendirian dan pengoperasian pabrik Semen milik PT Semen Indonesia di Rembang dan semen lainnya di pegunungan Kendeng. Termasuk dalam ketidak-becusan tersebut antara lain adalah pengambilan keputusan dan tindakan yang mempermainkan hukum, termasuk mengecilkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang membatalkan Ijin Lingkungan; dan mengganggu usaha warga untuk mendapatkan keadilan atau membiarkan berlangsungnya gangguan dari pihak lain.

Sejak awal, seluruh peserta aksi #DipasungSemen2 didampingi dan dimonitor selalu oleh tim Dokter yang siaga di YLBHI dan di lokasi aksi. Aksi protes berlangsung setiap hari, dimulai dari siang sampai sore, dengan fasilitas sanitasi lapangan dan peneduh. Pada sore hari peserta aksi pulang ke tempat beristirahat dan menginap di YLBHI jalan Diponegoro Jakarta.

Kamis, 16 Maret 2017, datang menyusul kurang-lebih 55 warga dari kabupaten Pati dan Rembang bergabung melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen.  Dua Puluh dari yang datang memulai mengecor kaki di hari Kamis tersebut. Bu Patmi adalah salah satu dari yang mengecor kaki dengan kesadaran tanggung jawab penuh. Beliau datang sekeluarga, dengan kakak dan adiknya, dengan seijin suaminya.

Senin Sore, 20 Maret 2017, perwakilan warga diundang Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki untuk berdialog di dalam kantor KSP. Pada pokoknya, perwakilan menyatakan menolak skema penyelesaian konflik yang hendak digantungkan pada penerbitan hasil laporan KLHS yang sama tertutupnya dan bahkan samasekali tidak menyertakan warga yang bersepakat menolak pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia dan Pabrik Semen lainnya di Pegunungan Kendeng tersebut.

Senin 20 Maret 2017, pada malam hari, diputuskan untuk meneruskan aksi tetapi dengan mengubah cara. Sebagian besar warga akan pulang ke kampung halaman, sementara aksi akan terus dilakukan oleh 9 orang. (Alm) Bu Patmi (48) adalah salah satu yang akan pulang sehingga cor kakinya dibuka semalam, dan persiapan untuk pulang di pagi hari.

Bu Patmi sebelumnya dinyatakan sehat dan dalam keadaan baik oleh Dokter. Kurang lebih pukul 02:30 dini hari (Selasa, 21 Maret 2017) setalah mandi, bu Patmi mengeluh badannya tidak nyaman, lalu mengalami kejang-kejang dan muntah. Dokter yang senang mendampingi dan bertugas segera membawa bu Patmi ke RS St. Carolus Salemba. Menjelang sampai di RS, dokter mendapatkan bahwa bu Patmi meninggal dunia. Pihak RS St. Carolus menyatakan bahwa bu Patmi meninggal mendadak pada sekitar Pukul 02.55 dengan dugaan jantung. Innalillahi wa inna lillahi roji'un.

Pagi ini jenasah almarhumah Bu Patmi dipulangkan ke desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati untuk dimakamkan di desanya. Dulur-dulur kendeng juga langsung pulang menuju Kendeng.

Kami segenap warga-negara Republik Indonesia yang ikut menolak pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng berduka atas kematian bu Patmi dalam aksi protes penolakan di seberang Istana Presiden ini. Kami juga ingin menegaskan kekecewaan kami yang mendalam terhadap tumpulnya kepekaan politik para pengurus negara, termasuk pengingkaran tanggung-jawab untuk menjamin keselamatan warga-negara dan keutuhan fungsi-fungsi ekologis dari bentang alam pulau Jawa, khususnya kawasan bentang alam karst Kendeng. Sungguh ironis, bahwa di satu pihak pemerintah Republik Indonesia menggembar-gemborkan itikad dan tindakan untuk ikut menjadi resolusi sejati dari krisis perubahan iklim dan hilangnya keragaman hayati, menegakkan hukum dan melakukan pembangunan dari pinggiran. Kematian Bu Patmi menjadi saksi bagi seluruh dunia, bahwa warga masyarakat Indonesia masih harus menyatakan sikapnya sendiri karena tidak adanya pembelaan sama-sekali dari pengurus kantor-kantor pemerintah yang seharusnya mengurus nasib warga negara. Kami juga menyampaikan kepada kalangan berpendidikan tinggi yang justru memilih peran sebagai juru-sesat untuk mengaburkan duduk-perkara masalah yang tengah dilawan oleh warga kawasan bentang alam karst Kendeng, termasuk sebagian pengurus media massa bahwa upaya-upaya bangsa Indonesia dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Koalisi Untuk Kendeng Lestari

CP :
Mokh Sobirin - Desantara [0822 2072 1419]
Muhamad Isnur - YLBHI [0815 1001 4395]

Rabu, 22 Maret 2017

MANIFESTO POLITIK FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA



MANIFESTO POLITIK
FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA

REVOLUSI ADALAH PRAKTEK. Tugas pergerakan adalah menyusun penjelasan sistematis tentang revolusi sebagai tindakan melangsungkan pembebasan untuk kelas tertindas oleh kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing. Itulah paragraf pembukaan revolusi, bukan dalam pengertian sebagai ritus pemberhalaan sejarah para ideolog atau politikus besar yang telah MEMBACAKAN DIRI di hadapan ingatan pengetahuan manusia modern. Sejarah itu nyata adanya. Teori revolusi yang tidak disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia. Untuk maksud itu, elemen-elemen pergerakan Rakyat Indonesia telah berkumpul di Yogyakarta pada tanggal 27-31 Maret 2000 dan merencanakan manifesto berikut ini yang akan diterjemahkan dalam seluruh BAHASA PERJUANGAN.

LIMA PULUH LIMA TAHUN setelah Revolusi Agustus 1945, Tanah dan Air Indonesia masih tergenang praktek-praktek ekonomi politik yang merupakan lanjutan sekaligus perwakilan dari kolonialisme-imperialisme. Keterasingan dari tanah air kesadaran sebagai akibat niscaya dari penundukan ekonomi politik Indonesia kepada kapitalisme internasional, mulai zaman monopoli perdagangan VOC sampai perdagangan bebas, telah mengantarkan keharusan pada masyarakat Indonesia untuk menerima mental yang ditakdirkan kepadanya sebagai paria ekonomi politik internasional.
 
KEKOSONGAN MASYARAKAT, Populi Vacante, yang di atasnya elit kekuasaan pasca Orde Baru kembali memobilisir bangsa Indonesia ke dalam benak masa lalu politik aliran dan hubungan-hubungan tidak jelas yang dimilikinya dengan kebutuhan pemulihan ideologi pasca KEKOSONGAN MORAL yang —sejak Kontra Revolusi 1965— digunakan Soeharto menyumpal kesadaran bangsa Indonesia dengan proyek besar developmentalisme merupakan dasar keprihatinan bagi terus dilangsungkannya tindakan-tindakan menyusun masa depan pergerakan.

MEI 1998 ADALAH PELAJARAN. Ini zaman, zaman permulaan. Awal bagi Rakyat Indonesia menemukan sejarah dan kemanusiaannya dengan kesadaran, dengan pengetahuan. Dan, para pemuda —satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimipin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis serta situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideologi ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan; satu-satunya tenaga yang tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan— adalah tenaga inti revolusi yang mempunyai tugas menghentikan dominasi dan hegemoni kesadaran kaum penindas atas mereka yang tertindas sehingga rantai pembodohan-pemiskinan rakyat dapat segera dihancurbuyarkan.
 
Perkenalan massa dengan ideologi serta organisasi perjuangan musti dibikin terjadi; ia adalah syarat mutlak pembebasan. Sudah tentu, ia berbeda dengan —misalnya— perkenalan seorang aktivis UKM dengan teman barunya di UKM atau universiteit lain. Berbeda pula dengan perkenalan seorang perjaka yang sedang melancong dengan gadis ayu yang ia temui di perlancongannya. Perkenalan yang kita bicarakan di sini adalah proses dialektika massa dalam menemukan kesadaran dan cita-citanya yang sejati yang sudah ia miliki tapi, selama ini, terhalang kabut gelap pemiskinan dan pembodohan. Para pelopor adalah mereka yang terus memutar turbin sejarah yang bakal mengusir kabut gelap itu.
 
Front Perjuangan Pemuda Indonesia percaya bahwa posisi pergerakan, organisasi dan ideologi perjuangan, sebagai suatu siasat kebudayaan pemuda mensikapi penderitaan rakyat menghadapi penindasan-penghisapan, bukan dan tidak boleh berada di bawah (ke)sadar(an) massa. Posisi seperti itu hanya akan menghasilkan pengulangan sejarah HILANGNYA REVOLUSI semata-mata sebagai mimpi buruk rakyat buruh dan tani.
 
Bagi Front Perjuangan Pemuda Indonesia, militansi adalah gemuruh massa dalam suatu gerak teratur dan efektif yang hanya mungkin dicapai melalui penggalangan ideologis dan organisasi politik yang berdiri kokoh bersama massa, di dalam massa, untuk massa; terlihat atau tidak terlihat, terdengar atau tidak terdengar, GEMURUH ITU HARUS KITA SIAPKAN. Seluruh tenaga dan pikiran harus kita curahkan agar posisi kebudayaan pergerakan, ideologi dan organisasi perjuangan, segera dan seutuhnya menjadi MILIK SADAR MASSA.

KEMANUSIAAN. Dari dan dengan kemanusiaan, kita mengukur gerak sejarah dan ideologi serta pengetahuan yang dilahirkannya. Kemajuan ideologi dapat kita baca dari kesetiaannya kepada kemanusiaan. Demikian sebaliknya, ideologi akan terbaca sebagai intensitas kemunduran ketika ia telah menyesatkan diri sebagai cara berfikir yang membangkaikan manusia. Pada saat yang sama, akal budi —pasangan terbaik sekaligus terakhir dari kemanusiaan— adalah alat bagi sejarah menemukan tempatnya sebagai pengetahuan yang melibatkan semua manusia apapun identitas genetisnya.
 
Pendewasaan fikiran dan peneguhan tindakan menyangkut sejarah, itulah pengertian kita tentang ideologi. Dengan ideologi, kita mengambil sikap. Kepada kemanusiaan, kita memihak. Diulang dalam pengertian biasa, yang kita katakan HANYALAH pemihakan kepada kemanusiaan bahkan sejak dari tingkat gagasan.
 
Pertumbuhan pesat rasionalisasi atas dunia dan relasi-relasi sejarah yang berlangsung di dalamnya, saat ini, telah mencapai titik di mana ternyata masyarakat Indonesia masih butuh perjalanan panjang menyusun perjuangan menemukan kemanusiaan. Hubungan yang —dengan pertumbuhan pesat rasionalitas itu— berhasil disederhanakan antara manusia dengan kebenaran, sejauh ingatan yang masih bisa kita kenali, justru menjerumuskan manusia dalam sejarah yang seakan tidak memberi kemungkinan untuk pembangkaian masyarakat Indonesia berhenti sejak zaman culturstelsel Belanda sampai ideestelsel Orde Baru, mulai praktek monopoli VOC di masa lalu sampai kebijakan mau menang sendiri negara-negara industri maju.
 
Bagi kita, dengan pengalaman serta ingatan yang mungkin masih terlalu pendek atau bahkan sepele bin(ti) remeh temeh, pembangkaian itu tidak lagi boleh terjadi. Semua manusia berhak DIADILI dengan hidup yang memberinya kesanggupan sama rata dengan manusia lain baik secara ekonomi maupun politik. Setiap manusia wajib DIADILI dengan hidup yang memperjuangkan kesederajatan kebudayaan. Tidak ada manusia yang lebih manusia dibanding manusia lainnya.
 
Kondisi tidak manusiawi yang dialami segolongan manusia yang darinya segolongan manusia lain mendapatkan kondisi yang lebih manusiawi nyatalah bukan keadaan alamiah yang terjadi begitu saja dari kehendak tangan-tangan gaib yang menguasai masa lalu dan masa depan dunia.
 
Kalau kita tertindas dan kemudian menyadari betapa hidup ekonomi politik kita sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat kemanusiawian, pertanyaan pertama kita bukanlah apa agama yang kita imani di masa lalu atau ideologi apa yang akan kita anut di masa depan. Pertanyaan utama bagi kita, DI MANA dan APA YANG KITA LAKUKAN —dengan ideologi dan pranata keimanan yang kita yakini itu— ketika sebuah proses penindasan terjadi? Sangat bisa jadi, bukannya menyatakan sikap dengan ideologi atau keimanan yang kita miliki, diam-diam kita malah merubah perlakuan terhadap ideologi atau keimanan kita sendiri untuk kemudian —sadar dan tidak sadar— terlibat sebagai bagian tak terlepas dari penindasan. Di sinilah, kita tidak dapat melupakan yang dipercayai Karl Marx bahwa lingkungan cara produksi dapat merubah lingkar fikiran suatu masyarakat, termasuk cara pandang masyarakat terhadap dirinya sendiri.
 
Yang kita tuju tentu bukan memaksudkan sejarah sebagai sebuah legitimasi untuk “menguasai keadaan” baik di saat ini maupun di masa datang. Penindasan itu ibarat pabrik: produknya adalah sejarah yang dihasilkan sebagai proses pembentukan ingatan masyarakat tertindas sebagai bahan baku sekaligus konsumennya. Menemukan kembali ingatan masyarakat Indonesia yang terlipat relasi ekonomi politik tidak adil, hanya itu cita-cita yang mengharuskan kita berbicara tentang ideologi; tentang sejarah dan pencerahan-pengkayaan kesadaran; tentang revolusi.
 
Perkara kita menyangkut kemanusiaan berawal dari asal-usul obyektif susunan masyarakat Indonesia yang hanya dapat dilihat pada sejarah sebagai remah-remah yang tersisa dari pesta jamuan penindasan di mana rakyat Indonesia diterima sebagai subyek sejarah dan lebih luas lagi —menjadi bagian perjalanan kebudayaan dunia— karena memang ada rombongan kolonial dan para petualang imperialis menemukan tanah dan air di mana rakyat Indonesia hidup dan menghidupkan kebudayaan, menyelenggarakan identitas kesadaran. Hal mutakhir dari kenyataan ini dapat terlihat dari Indonesia sebagai entitas-kebangsaan yang susunan sejarahnya tak lebih tidak kurang dari keadaan yang beberapa hari lalu dianjurkan penindas terbaik di seluruh dunia: Soeharto, yang menduduki peringkat lebih ulung di atas Adolf Hitler.
 
Masih soal jamuan: ia mustahil terselenggara dengan penuh kegembiraan tanpa golongan pribumi kaya dan berkuasa yang terus menerus menipu rakyatnya demi bertambahnya kekayaan dan langgengnya kekuasaan. Dengan tipuan itu, rakyat Indonesia dikeringkan sampai hanya sebagai batang-batang yang kurus kering, miskin dan bodoh, untuk dimasukkan kedalam tungku yang diatasnya gulai kesejahteraan alamiah Indonesia dimasak dan dibikin senantiasa hangat sehingga tidak pernah ada penindas atau penghisap yang kecewa.
 
Tipuan itu beroperasi melalui mitos-mitos palsu (!) yang tidak bisa sedikitpun memberi inspirasi bagi rakyat menemukan hak atau kedaulatan sejarahnya, melalui akrobat kebenaran yang menyelubungi nafsu telanjang kekuasaan ekonomi politik segolongan kecil pewaris kekuasaan dewa-dewa, melalui pengetahuan semu yang ditiup-tiup sebagai bius kesadaran oleh mereka yang mengaku telah maju fikirannya.
 
Dengan mitos dan pengetahuan semu, rakyat dijauhkan dari alam fikiran rasionalnya; kesadaran rakyat diusir dari kenyataan sejarahnya sendiri. Pembebasan Besar hanya dapat dimulai dengan mengakhiri pengungsian panjang rakyat Indonesia dari dunia sadar alam rasionalnya. Sudah bukan waktunya kesadaran rakyat Indonesia membiarkan dirinya bungkuk karena pembodohan dan pemiskinan. Bangkitlah, Indonesia; bangunkan jiwa merdekamu karena dalam kemerdekaan yang kau biarkan tidur itulah, musuh-musuhmu, para penindasmu, menemukan tempat terbaik untuk menjalankan mesin ekonomi politik pemiskinan sampai kamu bodoh, menyelenggarakan pembodohan yang telah membuat kamu semua miskin.
 
Percayalah pada akal budi yang akan menuntun kita menemukan kembali hak serta kedaulatan sejarah yang dengannya kita dapat mengenali asal-usul penindasan, yang dengannya kita akan segera kerjakan pembebasan. (Benar!) PEMBEBASAN HARUS DIKERJAKAN, karena ia bukanlah harapan atau utopia di saat kita menyadari atau mengalami penindasan-penghisapan; ia adalah tindakan sadar di lapangan ekonomi dan politik berdasarkan pemahaman obyektif atas sejarah masyarakat dan mekanisme sosial yang melahirkan penindasan.
Partisipasi politik yang terbuka dan mengambil bentuk pada Pemilu multipartai pertama sekejatuhan Soeharto hanyalah bagian artifisal sejarah. Tanpa validasi bertanggungjawab atas ideologi, liberalisasi itu lebih menyerupai gambaran MASYARAKAT TANPA PRINSIP yang menghamba pada kesemuan. Diperparah dengan citra mediatik di mana ruang tersebut tergambar, derajat ketidakbermaknaan ruang-ruang tersebut bagi bangunan sejarah manusia Indonesia makin menjadi-jadi.
 
Saat ini, kita berada di titik paling krusial dalam sejarah Indonesia. Hanya tersisa dua kemungkinan bagi perjuangan dan cita-cita kerakyatan: MAJU ATAU HILANG UNTUK SELAMANYA.
Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat. Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan.
 
Pendek kata, sejarah harus dikembalikan pada esensi jiwa sosial di mana perubahan terjadi sebagai hal ALAMIAH DARI MASYARAKAT yang diharuskan (! oleh penindasan-penghisapan) untuk membebaskan diri. Buku suci perubahan adalah logika sosial yang terbentuk dari bukan hanya satu, dua, atau tiga kelas sosial, tapi JUGA dari semesta kesadaran yang mengendap-mendasari relasi sosial antar kelas dalam masyarakat. Historisitas-otentisitas perubahan, kesejatian revolusi, hanya mungkin diawali dari perlawanan atas penindasan-penghisapan otentik-historis yang terjadi dalam setiap fase di setiap tempat hidup masyarakat.
Ambruknya penindasan otentik-historis tidak bisa diukur hanya dari runtuhnya bangunan operasional penindasan. Revolusioner sejati adalah mereka yang percaya pada kedaulatan kelas tertindas dalam memperjuangkan kesadarannya sendiri baik sebagai manusia maupun sebagai masyarakat. Dengan kedaulatan inilah, kelas tertindas mentransformasi diri sebagai kekuatan aktif dalam setiap proses sejarah.
 
Salah satu otentifikasi historis yang dapat dikemukakan di sini adalah konsepsi Karl Marx perihal materialisme historis —berkembang pada Lenin melalui Engels sebagai materialisme dialektis— sebagai penentu sejarah perkembangan masyarakat yang merupakan prestasi Marx setelah mengkritik Hegel sebagai “berjalan dengan kepala, berfikir menggunakan kaki” karena prinsip-prinsip idealismenya. Dari model Marxian-Engelsian ini kita dapat mengajukan pertanyaan: bagaimana dengan rakyat tertindas bangsa terjajah yang secara nyata —karena eksploitasi super intensif Kapitalisme dan bukan karena Hegellianisme menggebu pun juga bukan karena Kepasrahan-Kosmologis-Perennial— telah NYUNGSANG NJEMPALIK (maaf, bhs. Jawa, artinya: diputar balik nasibnya secara paksa sehingga) harus menggunakan kepala untuk berjalan dan menggunakan kaki untuk berfikir.
 
Bercermin pada ‘Buruh Seluruh Dunia Bersatulah!’ kita juga perlu jelas melihat model pembagian kerja ekonomi politik yang menjadi ruang di mana Rakyat Indonesia dilibatkan dalam pengertian komodifikasi tenaga-kerja sebagaimana dimaksudkan Marx dan Engels. Untuk memastikan kelas revolusioner di Indonesia, kita perlu melihat mekanisme industrial —archetype gagasan Marx-Engels— yang berlaku di Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang.
 
Sebagai obyektifitas ekonomi politik penindasan, siapa atau apakah yang terindas-terhisap hukum produksi kapital? Buruh, tani, tanah dan air, atau bahkan kesadaran sejarah masyarakat Indonesia juga telah terhisap sampai kering oleh penindasan ekonomi politik imperialisme-kolonialisme yang telah dengan sukses memanipulir sejarah Indonesia semata-mata sebagai KESADARAN MASYARAKAT TEMUAN?
 
Satu kritik awal perlu kita nyatakan menyangkut kesibukan ideolog modern meributkan gagasan perubah dunia sampai mereka lupa pada sejarah yang telah lama merubah dunia gagasan mereka. Dari kritik ini, Front Perjuangan Pemuda Indonesia memandang bahwa Ketidakadilan Diskursif yang menjadi STRUKTUR ATAS dari setiap periode penindasan yang dialami rakyat Indonesia juga harus diperjuangkan untuk dibongkar.
 
Ketidakadilan Diskursif bukan sebuah terminologi tentang ketidakadilan dan perjuangan membangun keadilan an sich sebagai realitas dunia gagasan. Ia adalah penekanan kita pada proses penghisapan ekonomi politik —baik dalam strateginya memenangkan kelas penindas maupun sebagai akibat penindasan berkelanjutan— yang mempengaruhi kesadaran historis kelas tertindas. 
Dari penekanan ini, kita bisa mengupayakan sistem gagasan yang dapat melangkahi setiap kebutuhan perjuangan.
 
Dasar sikap dan sikap dasar Front Perjuangan Pemuda Indonesia, yang yakin bahwa klaim kematian ideologi sekalipun bukan alasan yang MASUK AKAL dan SESUAI BUDI untuk menghentikan perjuangan, adalah kepercayaan pada mentalitas pembebasan sebagai proses dialektis manusia dengan sejarahnya, masyarakat dan keharusan-keharusan ekonomi politiknya.
 
Pemulihan ideologi masyarakat yang hanya mungkin dilalui dengan pengorganisiran seluruh kekuatan ekonomi politik rakyat merupakan langkah perjuangan yang harus kita sadari selekas dan setuntas-tuntasnya. Dengan berpegang teguh pada garis massa, program maksimum pergerakan, saat ini, adalah mengutuhkan kedaulatan rakyat atas tanah, air dan udara sebagai kekuatan produktif masyarakat Indonesia.

Dari TEORI NILAI LEBIH-nya Karl Marx, Kapitalisme internasional telah “belajar” meneguhkan supremasi kolonialis-imperialistiknya di negara-negara dunia ketiga melalui apa yang dapat kita sebut sebagai NILAI LEBIH TEORI: sentuhan teknologis negara-negara industri maju atas sumber daya alam Indonesia, misalnya, menjadi keajaiban yang dengan keajaiban itu Rakyat Indonesia diawet-bekukankan dalam keterasingan dari nilai produktif tanah dan air negerinya sebagai lingkungan material dari kebudayaanya.
Mari kita lihat kronologi berikut ini.

Menguatnya desakan gerakan pro-lingkungan di beberapa negara industri maju dan kemampuan adaptatif yang dimiliki sistem produksi kapitalis akan memaksa titik-titik pusat Kapitalisme, yang sejak periode dekolonisasi 1945-1965 telah terpencar menjadi raksasa-raksasa gagah Multi National Corporation, untuk mencari dan menemukan formula penyelamatan dengan mengembangkan sistem produksi ramah lingkungan. Mahalnya tehnologi pengolahan limbah –-dalam kasus atau sektor industri tertentu, ia membutuhkan investasi yang bahkan lebih besar dibanding biaya total produksi— masih menjadi masalah bagi keperluan perkembangan kapitalisme industrial masa depan.
 
Andaian kita, beberapa wilayah Gunung Berapi di Indonesia pernah memuntahkan lava. Praksis dan teoritis, kita terima bahwa di manapun, kesuburan tanah lahan pertanian pasca letusan mengalami peningkatan, lebih tepat disebut peremajaan, dibanding sebelum letusan. Pandangan konvensional mengatakan bahwa peremajaan itu terjadi karena muntahan letusan adalah tanah baru yang menutup lapisan tanah lama dan degradasi kesuburan yang dialaminya selama proses pertanian tradisional maupun modern.
 
Akan tetapi, dengan asumsi bahwa pandangan konvensional itu tidak sepenuhnya benar mengingat bahwa pembentukan lava terjadi melalui proses geo-vulkanik yang panjang; kita kemudian harus terima bahwa peremajaan tersebut terjadi karena memang muntahan gunung berapi mengandung mineral alami —dikenal dengan sebutan Zeolith— yang memiliki daya serap tinggi terhadap ion-ion yang tersisa —dalam kasus pertanian— dari pestisida dan bahan kimia lainnya.
 
Di masa mendatang, “sentuhan” tehnologi atas zeolith akan memungkinkan diciptakannya sistem pengolahan limbah dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding yang saat ini beredar di pasaran internasional. Tanpa maksud berlebihan, tehnologi berbasis mineral alami inilah yang akan menjadi salah satu tumpuan sistem produksi kapitalisme. Saat ini, walaupun memiliki sumber-sumber yang cukup untuk dieksploitir, Jepang memenuhi seluruh “kebutuhan” zeolith-nya dari Indonesia. Sudah hukum sejak awal, pada waktunya nanti, pengusaha Indonesia harus membeli sistem pengolah limbah berbasis zeolith dengan harga yang jauh lebih mahal dibanding harga atau nilai ekspor yang diterima Indonesia sekarang.
 
Itu adalah contoh. Hanya satu contoh betapa akibat pembodohan selama ini rakyat Indonesia bahkan sudah harus menanggung kemiskinan sampai sekian generasi yang akan datang. Mengingat, bahwa, sampai saat ini, industri utama Indonesia adalah industri orientasi ekspor dan bukan substitusi impor, kecil kemungkinan penutupan biaya pertambahan nilai impor tehnologi dengan menaikkan harga barang hasil produksi; kalau di masa Orde Baru, upah buruh harus dipotong untuk biaya siluman pengisi laci-laci birokrasi, kapitalisme liberal yang menjadi skenario lanjutan dari negara-negara industri maju saat ini akan terus mencari cara untuk menutup biaya pengganti nilai impor tehnologi dengan menekan upah buruh di Indonesia serendah-rendahnya.
 
Yang jelas, skenario lanjutan dari pembagian kerja ekonomi internasional yang diturunkan dari kesepakatan antar negara-negara industri maju merupakan medan di mana pergerakan Rakyat Indonesia dan umumnya Pergerakan Rakyat Negara-negara Dunia Ketiga harus mempersiapkan diri berhadapan secara langsung dengan komersialisasi lebih lanjut kebudayaan masyarakat —manusia sebagai tenaga kerja dan sumber alam— pinggiran, untuk menjamin kondisi selalu pulih dan mulia dari masyarakat-masyarakat pusat di negara-negara industri maju.

UNTUK mengarahkan seluruh tenaga dan kerja pergerakan bagi sepenuh-penuhnya kesadaran dan sekuat-kuatnya organisasi massa di semua sektor strategis masyarakat Indonesia dibutuhkan organisasi dan kader-kader perjuangan dengan daya jelajah teoritis dan praksis yang memungkinkan rakyat memperdengarkan SUARA PERLAWANAN melalui TINDAKAN pergerakan di jantung ekonomi politik yang mendenyutkan nadi penindasan.
 
Front Perjuangan Pemuda Indonesia didirikan sebagai satuan kesadaran dan tindakan memilitankan pengorganisiran tak kenal ampun sebagai langkah intensif dan efektif menyusun martabat ekonomi politik Rakyat Indonesia menuju kehidupan nasional yang demokratis dan berkedaulatan.
MENDIDIK RAKYAT DENGAN PERGERAKAN, MENDIDIK PENGUASA DENGAN PERLAWANAN.

Diumumkan di Jakarta, 5 Juli 2000 oleh Dewan Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI).


Rabu, 23 Februari 2011

Ical: Itu Ibarat Belum Beranak Sudah Berbesan Aburizal Bakrie menyatakan koalisi tak akan bubar hanya karena soal angket pajak.

Rabu, 23 Februari 2011, 20:09 WIB
Ismoko Widjaya

VIVAnews - Meski kalah suara dalam penentuan Angket Mafia Pajak, Partai Golkar menyatakan tak akan keluar dari Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai Pendukung Pemerintahan SBY. Bahkan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menegaskan Golkar tetap berkomitmen mengawal pemerintah sampai habis masa baktinya.

"Golkar akan pertahankan pemerintah sampai 2014," kata Aburizal Bakrie usai Panen Raya di Serang, Banten, Rabu, 23 Februari 2011.

Politisi yang akrab disapa Ical ini menyatakan Setgab tidak akan bubar hanya karena perbedaan pendapat. Menurut Aburizal, perbedaan pendapat bukan hal baru dan biasa di dalam Golkar.

"Kami dalam koalisi biasa melakukan perdebatan konsep. Perbedaan soal pajak seolah-olah besar padahal cuma caranya saja, yang satu panitia khusus angket, yang satu panitia kerja," ujarnya.

Menurut Ical semua anggota koalisi berkewajiban menjaga pemerintah sampai 2014 dan membantu kelancaran jalannya pemerintahan.

Mengenai beredarnya isu bahwa Golkar akan dikeluarkan dari Setgab, Ical mengaku tidak mendengar hal itu. Tapi, ia menyatakan, bahwa pada dasarnya Golkar selalu siap dengan semua kemungkinan. "Saya belum dengar ada pernyataan itu. Golkar sih siap saja. Tapi itu belum ada. Ibarat belum beranak sudah berbesan, anak belum lahir sudah tanya besannya," katanya sembari bercanda. (Laporan: Dian Widiyanarko | kd)
• VIVAnews

Pramono: Pernyataan Dipo Alam Rugikan SBY "Namanya pejabat pemerintah mestinya telinga tidak boleh tipis."

VIVAnews - Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Pramono Anung, menilai gagasan pemboikotan media yang diungkapkan Sekretaris Kabinet Dipo Alama seperti kembali ke zaman kerajaan lampau. Pernyataan Dipo Alam dinilai emosional.

"Namanya pejabat pemerintah mestinya telinga tidak boleh tipis," kata Pramono Anung di gedung DPR, Jakarta, Rabu 23 Februari 2011.

Pemerintah dan jajarannya harus dapat menerima kritikan dari masyarakat. Karena yang namanya kritik, itu merupakan hal yang wajar di alam demokrasi. "Pernyataan itu tidak selayaknya disampaikan," ujar mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan ini.

Pramono mengingatkan, pernyataan Dipo Alam itu justru merugikan pemerintah sendiri. Terutama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Itu menjadi blunder. Jangan orang yang tadinya ingin mendapat perhatian, malah merugikan juragannya," sindir Pramono.

Dipo Alam mengaku tindakannya mengritik media, yang dinilainya menjelek-jelekkan pemerintah, demi suksesnya pemerintahan. Menurut Dipo, hal tersebut ia lakukan karena banyak menteri di kabinet yang tidak membela pemerintah jika ada pemberitaan yang menjelek-jelekkan. "Saya hanya ingin mengatakan, I never change. Dipo Alam is Dipo Alam, from beginning until now," kata Dipo di hadapan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, siang tadi.
• VIVAnews

INDONESIAKU: ANTARA BUAIAN SOFT POWER DAN JEBAKAN HEGEMONI GLOBAL

Benarkah pilihan-pilihan sejarah manusia sedemikian harus dibatasi dengan
garis yang memisahkan atau menghubungkan sosialisme dan kapitalisme?
Kalau demikian halnya, alangkah sempitnya dunia; alangkah miskinnya manusia. (Manipol NDK)


Polarisasi yang sedang berkembang dalam faksi modal internasional yang disertai dengan kebangkitan negara-negara berkembang telah merubah beberapa kebijakan Ekonomi Politik Negara-Negara Modal khususnya Amerika, wacana Soft Power sebagai kebijakan luar negeri Amerika merupakan efek langsung dari kemajuan mendasar yang ditunjukan negara-negara berkembang, sebenarnya wacana Soft Power merupakan alternatif kebijakan yang lahir dari ketidak sepakatan beberapa negara yang ditujukan bagi kebijakan Hard Power Amerika yang melakukan ekspansi kekuatan miuliter di Afganistan dan Irak atau dengan kata lain pengendoran kebijakan tidak serta merta dipandang sebagai melemahnya kekuatan besar Amerika melainkan bisa jadi sebagai strategi hegemoni negara tersebut terhadap negara “jajahannya”. Wacana istilah soft power sesungguhnya telah dipopulerkan sejak penghujung 1980 oleh Joseph S Nye, Guru Besar Kennedy School of Govertmen University Hardvard, AS. Dalam dua karyanya: Bound to Lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002), Nye lalu mengembangkan ide soft power ini dan merelevankannya dengan kebijakan Amerika Serikat. Akan tetapi, penjelasan Nye yang lebih terperinci mengenai soft power ditulisnya secara komprehensif dalam karyanya :Soft Power: The Means to Succes in World Politics (2004). dalam buku tersebut, Nye mendefinisikan dimensi ketiga kuasa ini sebagai ”kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni memikat dan mengkooptasi pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya.”(Nye, 2004). Nye menyebutkan bahwa soft power suatu negara terdapat terutama dalam tiga sumber: kebudayaan, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negerinya.
Perbedaan antara soft power dan hard power dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen, dan implikasinya. Soft power berciri mengkooptasi dan dilakukan secara tidak langsung, sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah secara langsung. Instrumen soft power berupa nilai, institusi, kebudayaan dan kebijakan, sementara hard power antara lain berupa militer, sanksi, uang, suap, dan bayaran. Karenanya tidak seperti soft power yang berimplikasi mengkooptasi, hard power kerap mengundang munculnya perlawanan.
Kebijakan Amerika Serikat dan beberapa negara Modal Internasional sesungguhnya tidak semata-mata lahir akibat dari mulai massifnya perkembangan negara-negara dunia ke III maupun konsolidasi kawasan yang terus digerakan oleh kekuatan besar dunia seperti Cina dan Jepang di Asia maupun Iran dan Libanon di Timur Tengah. Rentetan peristiwa besar telah menjadi pelajaran yang cukup membekas bagi kebijakan politik luar negeri Amerika, dari kegagalan menangkap Osamah Bin Laden sebagai kambing hitam peristiwa Black September di Afganistan yang malahan berujung meluasnya perang saudara di sana dan kemudian merembet ke kedaulatan negara Irak yang menjadi negara bulan-bulanan serangan Amerika berikutnya, dengan dalih untuk menciptakan stabilitas ekonomi politik dan penegakan demokrasi serta untuk menghancurkan rezim otoriter Saddam Husein di Irak, begitupun ancaman senjata nuklir yang disinyalir oleh AS sedang dikembangkan oleh Irak, namun sampai detik ini ternyata sama sekali tidak bisa terbukti secara kongkrit. Runtuhnya Saddam hanya menambah luka bagi rakyat sipil di Irak dan memperluas konflik berdarah di sana, senjata nuklir yang menjadi alasan mendasar AS ternyata hanya menjadi sumbu penyulut dari ekspansi Amerika semata. Peristiwa tersebutlah yang mendorong konsolidasi beberapa kekuatan negara-negara di dunia untuk meninjau kembali posisi pertarungan di kancah globalnya, ancaman AS yang akan menyerang Iran bukannya membuat Iran surut malah melakukan Apel Siaga penyambutan serangan dan hal serupa juga terjadi pada ancaman penyerangan AS ke Korea Utara dengan alasan pengembangan senjata Nuklir ternyata juga malah dijawab dengan pembentukan barikade pasukan siap perang di Korut.
Betulkah alasan klasik negara AS menyerang beberapa negara yang telah disebutkan di atas merupakan tujuan utama dari ekspansi kekuatan militer atau sesungguhnya bagian dari pembaharuan atas krisis Minyak dunia yang sedang terjadi di tingkatan Global, kita mengetahui secara bersama bahwa ketergantungan negara barat terhadap Minyak untuk lahan pengembangan industri mereka sangatlah tinggi oleh karena itu apapun akan dilakukan untuk mempertahankan dominasi tersebut. Ternyata dibalik situasi tersebut AS tidak menghitung secara matang bahwa dengan semakin gencarnya mereka melakukan ekspansi secara langsung berakibat menguatnya resistensi bebrapa negara yang menganggap kebijakan luar negeri AS adalah arogan dan akan menghancurkan tatanan dunia dan kemanusiaan, lihat saja bagaimana timpangnya keberpihakan AS terhadap serangan rudal Israel ke Palestina dan Libanon serta semena-menanya menata infrastruktur ekonomi negara berkembang dengan jerat Hutang Luar Negeri. Hal tersebutlah menjadi pelajaran kenapa Amerika Latin berani mengkonsolidasikan diri sebagai wujud resistensi perlawanannya terhadap kebijakan Neo Liberalisme yang diterapkan AS dan sekutunya maupun kebangkitan Malaysia, India dengan teknologi IT-nya dan Vietnam yang mulai bergerak menuju negara maju. Lain halnya dengan apa yang terjadi dengan kebijakan Indonesia yang tidak segera berbenah secara mandiri dan berdaulat untuk segera keluar dari kungkungan kapitalisme internasional melainkan semakin terjerumus ke jurang ketergantungan yang entah kapan muaranya akan berakhir.
Berubahnya paradigma politik luar negeri AS yang dipandang sebagai rekonstruksi politik pasca perang Irak dengan lebih menekankan kebijakan populis dan pendekatan Soft Power. Sangat disayangkan beralihnya kebijakan tersebut tidak segera disambut oleh Indonesia dengan penataan dan pranata yang kuat dalam menyambut pertarungan globalnya. Kebangkitan India dan Vietnam sendiri cukup menjadi referensi bagaimana Cina dan Jepang sebagai dua kekuatan besar Asia dengan agresifnya merubah kebijakan luar negeri mereka dengan coba mulai mengkonsolidasikan India, Korea Utara Vietnam dan Sri Lanka untuk meninjau ulang posisi kawasan Asia dalam kancah pertarungan globalnya. Cina yang sejak dulu menyatakan perang dingin terhadap India dan larinya masyarakat komunitas Tibet di Cina yang dipimpin Dalailama beberapa waktu terakhir mulai mencair dan akan dengan sesegera mungkin merubah pola hubungan bilateral mereka dan lebih mengefektifkan kembali kerjasama ekonomi, politik, budaya dan pendidikan kedua negara (Baca: Kunjungan Hu Jintao ke India beberapa waktu lalu di penghujung bulan November ini).
Iran sebagai kekuatan besar negara di Timur Tengah juga mulai membangun kekuatan nasionalnya dan bahkan kekuatan di sektor kawasan Asia Tengah kita lihat bagaimana perkembangan Iran di sektor persenjataan dan minyak bumi memberi alasan yang kuat Rusia, Cina dan beberapa negara Eropa merubah kebijakan untuk mengembargo Iran seperti penekanan embargo yang dilakukan oleh AS terhadap Iran. Begitupun dengan Korea Utara yang terus membuka konsolidasi efektif dengan beberapa kekuatan kawasan seperti Rusia dan Cina sendiri. Di sisi lain kemajuan dinamika politik di kawasan Amerika Latin juga menambah corak perkembangan baru di konteks globalnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Indonesia menyikapi peristiwa – peristiwa besar yang telah banyak merubah beberapa negara yang dulunya sejajar dengan Indonesia kini mulai bergerak maju meninggalkan kita, dependencia politik terhadap Amerika jelas menjadi situasi yang cukup mendasar bagi keberlangsungan dan perubahan kebijakan nasional dan luar negeri Indonesia. Coba kita perhatikan bagaimana ketergantungan besar Indonesia terhadap Amerika yang demikian kuatnya sehingga dalam penyambutan Bush kemarin harus membuang uang sebesar Rp 6 Miliyar dan teramat ironis landasan yang dibuat di Kebun Raya Bogor ternyata malah tidak dipergunakan. Dan yang lebih ironis lagi bahwa keberadaan Amerika di Indonesia dipercaya akan membawa perubahan yang signifikan di sektor Pendidikan, Kesehatan, Bio Energi dan Investasi. Kita masih percaya bahwa Amerika akan memberikan stimulus baru bagi kemajuan Indonesia jika itu benar ini sama halnya di masa Sukarno sebelum kemerdekaan yang terus menunggu kemerdekaan yang dijanjikan Jepang sedang situasi globalnya telah mensyaratkan Revolusi 45 menjadi jalan bagi kemerdekaan Indonesia.
Kita juga patut membedakan kedatangan AS di Vietnam, Rusia, Singapura dan beberapa negara lainnya di dunia akan memberi implikasi yang sama di Indonesia, sebab kebutuhan pokok AS di Indonesia adalah untuk menata ulang eksplorasi sumberdaya yang mereka miliki di Indonesia seperti Freeport, Exxon Mobile, Blok Cepu, Newmont dll, sebagai fungsi pertahanan bagi basis produksi industri di negara Amerika, sehingga secara tidak sadar kita dipaksa bersikap bahwa kebijakan Soft Power lewat pendidikan adalah niatan murni negra digdaya tersebut untuk memajukan Indonesia. Jika kita belajar dari sejarah sesungguhnya kebijakan tersebut tidak ada ubahnya sebagai sebuah selubung hegemoni untuk kesekian kalinya yang dilakukan negara Amerika untuk mempertahankan dominasinya di Indonesia dan kawasan Asia secara khusus.
Sesungguhnya soft power merupakan leksikon lain dari apa yang telah telah dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1891- 1937) tentang hegemoni. Soft Power merupakan upaya halus suatu mekanisme ajakan yang dilakukan secara simpatik. Baik soft power maupun hegemoni merupakan bentuk mengkooptasi melalui instrumen – instrumen seperti kebudayaan, kebijakan, nilai, dan institusi.
Perbedaan kontras antara soft power dan hegemoni ialah latar belakang pemikirnya: hegemoni merupakan konsep yang dipopulerkan seorang marxis italia dengan upaya melakukan perjuangan kelas, namun soft power muncul dari akademisi AS dengan intensi memberikan strategi-strategi jitu AS agar tetap melestarikan hegemoni dan dominasinya selama ini.
Dengan istilah soft power, sebenarnya ingin menunjukan kenetralan konsepnya itu dan berupaya seakan-akan terbebas dari stigma menghegemoni yang sejak gramsci telah dipandang peyoratif.

Kepemimpinan yang Terbentuk

Menjadi seorang pemimpin yang berhasil bukan sekadar ditentukan oleh sampai sejauh mana prestasi yang bisa diraih,tetapi juga oleh kemanfaatan yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Seorang pemimpin yang tangguh lahir dari sejumlah bentukan pengalaman hidup, berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Ia juga muncul bukan hanya karena bakat yang menaunginya, tetapi juga olah rasa kebulatan tekad. Pemimpin hebat bukan lahir dari keturunan yang hebat, tetapi kemampuan untuk terus belajar dan belajar.

Pada saat bersamaan kini kita kerap disuguhi parodi pengaderan kepemimpinan yang dari atas ke bawah, bahkan lahir sebagai generasi penyusu. Sebenarnya faktor apakah yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin yang tangguh? Sebagian besar kalangan mengatakan karena bakat dan keturunan, tetapi Toyotami Hideyoshi, salah satu pemimpin legendaris dari zaman kekaisaran Jepang (abad XVI) menjadikan faktor keteguhan diri menjadi salah satu faktor utama keberhasilannya.

Hideyoshi (1536-1598) layak dicatat sebagai salah satu figur besar pemimpin yang pernah ada di dunia. Bukan hanya karena kemampuannya menyatukan Jepang dalam salah satu masa paling krusial, saat puncak kekacauan Jepang -zaman perang antar klan-,saat di mana kekerasan dijadikan panglima.

Saat di mana tesis Hobbesis, homo homini lupus terejawantahkan dalam bingkai kehidupan keseharian yang konkret, manusia kuat yang menjadi pemenang ketika berperilaku sebagai serigala.Tapi juga Hideyoshi mewariskan falsafah kepemimpinan yang hingga kini masih sangat layak dijadikan cermin bagi siapa saja yang berhasil,terutama dalam aspek manajemen kepemimpinan.

Hideyoshi menjadi luar biasa karena satu-satunya pemimpin Jepang yang tumbuh sebagai anak petani miskin dari tradisi aristokrat dan struktur masyarakat feodal Jepang.Saat di mana bukan hanya estafet kepemimpinan mengikuti garis darah dan struktur masyarakat yang terfragmentasi berdasarkan kelas sosial yang sulit menyatu.

Ia terlahir di Nakamura,Provinsi Owari sebagai anak tunggal yang ditinggal ayah sejak kecil dan menyaksikan ayah tirinya kerap mempergunakan kekerasan kepada ibunya dan Hideyoshi sendiri. Dengan model anak tunggal yang terpisah dari ayah sejak kecil, secara psikologis (mengikuti pendapat psikolog Alfred Ayer) biasanya anak tunggal yang kesepian ditinggal figur ayah, suatu ketika akan berhasil dalam hidupnya.

Meski keberhasilannya lebih ditentukan oleh dorongan psikologis pembuktian kepada ibunya bahwa tanpa figur ayah dirinya mampu membuktikan diri. Dengan modal sebuah kantong penuh berisi koin tembaga hasil tabungan dari kerja keras ibunya, Hideyoshi meninggalkan Nakamura dan berkelana mencari peruntungan baru.

Keberanian untuk meninggalkan kota kelahiran untuk mengadu nasib telah mengubah jalan hidup Hideyoshi. Keinginan untuk berhasil menjadikannya mampu bukan hanya bertahan hidup di dunia baru, tetapi mempelajari bagaimana menjadi besar di tengah anggapan umum bahwa dia tidak mungkin menjadi besar.

Bagaimana tidak,ia berasal dari keluarga petani miskin dengan perawakan tidak atletis, berwajah jelek, bertubuh pendek, tidak berpendidikan.Dengan hanya berat badan 50 kg,tinggi 150 cm dan bungkuk dengan daun telinganya besar, wajahnya merah dan berkeriput sehingga sepanjang hidupnya disebut dengan nama panggilan “monyet”.

Lantas apa yang membuat Hideyoshi mendapat kesuksesan besar? Ia besar karena memiliki karakter pemimpin yang khas dan sejatinya harus dimiliki semua orang. Pertama karakter dasar yang utama adalah filosofi samurai tanpa pedang. Satu hal yang bertolak belakang jika diperbandingkan kewajaran yang berlaku pada masanya, melulu dengan kekerasan.

Sejatinya filosofi samurai tanpa pedang bisa dipahami dengan keterbatasan fisik dan kemampuan olah pedang Hideyoshi yang sangat terbatas. Secara umum Hideyoshi mengatakan bahwa filosofi samurai tanpa pedang berisi pedoman bahwa prajurit terbaik tidak pernah menyerang, prajurit terhebat berhasil tanpa kekerasan,dan penakluk terbesar menang tanpa perang.

Tapi lebih dari itu, Hideyoshi memaksimalkan kekurangan fisik dan kemampuan tempur dengan menunjukkan kemampuan strategi dan olah pikirnya. Prinsip samurai tanpa pedang memiliki filosofi mengedepankan akal sehat dan berpikir di luar kotak.Sebagai contoh saat Hideyoshi menjadi salah satu tangan kanan dari Lord Nobunaga yang pada saat itu dikenal memiliki pasukan tempur yang kuat tidak memakai kekuatan bersenjata saat penaklukan Klan Asasuka.

Hideyoshi mengambil risiko datang seorang diri menerobos benteng Asasuka hanya untuk menjamin bahwa pasukan Asasuka akan selamat jika menyerah (hlm 79). Keberanian tersebut jelas memiliki risiko yang sangat besar dan berulang dilakukan dalam berbagai kondisi kesulitan dan tantangan. Kedua, teguh pada prinsip, berkemauan ekstra, dan bekerja keras.

Kekurangan fisik dan kenyataan bahwa bukan terlahir dari kalangan aristokrat menjadikan usaha Hideyoshi berlipat. Keterbatasan diri yang kemudian bisa dijadikannya keunggulan bersaing. Sudah menjadi rahasia umum, rata-rata pemimpin yang sukses lahir karena masa lalu yang kelam.

Untuk mewujudkannya Hideyoshi mengatakan ia harus selalu berjalan jauh melebihi langkah orang lain sebelum orang tersebut melangkah. Meski pada akhir kekuasaannya Hideyoshi dianggap diktator, filosofi samurai tanpa pedang menjadi salah satu bahan pelajaran penting untuk kita semua.

Saat tipologi kesuksesan kepemimpinan lebih banyak didominasi prinsip hidup Barat,Hideyoshi mengisi kekosongan kepemimpinan Timur yang tak kalah besar. Ia besar karena terbentuk oleh pengalaman yang berliku dan beragam.

Buku ini bukan buku autobiografi biasa dan menjadi sangat penting serta berhasil karena mengandung pembelajaran filosofi manajemen kepemimpinan yang kuat.Dengan metode ekstrapolasi, membaca kisah Hideyoshi sama dengan membaca sejuta kearifan petuah kepemimpinan yang inspiratif.(*)

Herdis Herdiansyah,
Manajer Riset Pusat Kajian Strategik dan
Pertahanan (CSDS), Pascasarjana UI

GERAKAN MAHASISWA DAN GERAKAN RAKYAT DI YOGYAKARTA

oleh : Tim Liputan KBR68H melaporkan untuk Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum.

Jatuhnya Soeharto pada 21 Mei, 10 tahun silam, bukanlah tiba-tiba. Proses pelengserannya adalah buah kediktatorannya selama 32 tahun berkuasa. Pada kurun 1970an salah satu kebijakannya adalah mengekang aktivitas mahasiswa di kampus. Namun, itu tak menyurutkan sikap mahasiswa untuk tetap kritis terhadap penguasa, apalagi penguasa semena-mena. Upaya perlawanan itu mereka lakukan bertahap melalui pelbagai kelompok diskusi hingga gerakan jalanan. Pada bulan Maret ini 10 tahun silam para aktivis mahasiswa ini bergerilya membangun gerakan. Kita simak liputan KBR68H tentang kisah perjalanan perlawanan mahasiswa.

Ketika dibangun 22 tahun silam, waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah merupakan salah satu proyek paling kontroversial. Maklum proyek ini menggusur ratusan warga dari tanah mereka. Ini menarik perhatian para aktivis mahasiswa dari berbagai daerah. Mereka berasal dari pelbagai kelompok studi, pers mahasiswa dan bermacam-macam komite aksi. Kepedulian kepada korban Kedung Ombo menyatukan mereka dalam sebuah wadah bernama Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta, FKMY.

Brotoseno, salah seorang pendirinya mengatakan, FKMY berawal dari keprihatinan mahasiswa atas nasib rakyat Indonesia yang makin terpuruk.

Brotoseno: Jadi FKMY adalah sebuah komunitas kaum muda yang kritis, mahasiswa khususnya yang berada di Yogyakarta. Sejarahnya yang mengawali itu karena keprihatinan kita, kegelisahan kita atas situasi nasional, khususnya yang menyangkut nasib rakyat indonesia

Menurut Brotoseno, organisasinya adalah gerakan mahasiswa pertama di Yogyakarta pasca pemberangusan kegiatan mahasiswa di kampus. Pada 1978, Menteri Pendidikan Daoed Joesoef memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan disingkat NKK/BKK. Inilah kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang mahasiswa terjun ke dalam politik praktis.

Tapi, sikap kritis mahasiswa tak mati. Di awal tahun 1980an, mereka menerobos dengan membentuk pelbagai kelompok studi, seperti yang terjadi di Yogyakarta.

Suasana diskusi KMPD

Kelompok studi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini bernama Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi KMPD.

Suasana diskusi KMPD

Mukhotib bercerita ikhwal organisasinya.

Mukhotib: KMPD itu dilakukan sebagai satu medium pengembangan wacana kritis juga dia sebetulnya menyatu dengan pers mahasiswa. Jadi kalau bicara KMPD tidak terlepas dari gerakan persma. Kegelisahannya tentu saja sama di tahun itu menjadi arus besar tidak hanya di Yogja tentang ketidakpuasan atas pemerintahan di lain sisi intervensi pembonsaian perguruan tinggi yang tidak memungkinkan mahasiswa mendapatkan nilai le bih kecuali ijazah.

Para pengurus KMPD tak cuma berwacana, tapi juga mengajar para kader bagaimana cara membela rakyat.

Mukhotib: Jadi kita rutin melakukan pelatihan yang namanya pelatihan bakti lingkungan. Tapi sebetulnya itu adalah suatu pelatihan yang disadari bagaimana teman-teman bisa melakukan agitprop istilahnya. Agitasi dan propaganda sehingga pasca pelatihan mereka merumuskan isu dan kemudian demo beneran.

Di kampus lain, sejumlah mahasiswa Universitas Islam Indonesia membentuk Rode. Kelompok studi yang berdiri 1987 ini banyak mengulas sejarah gerakan mahasiswa 1966. Syaiful Bahri, salah seorang pendiri Rode berkisah, kelompoknya juga banyak membahas nasib rakyat.

Saiful Bahri: Selain mengkritik gerakan mahasiswa sebelumnya, yang kedua kita banyak mengkaji potensi-potensi gerakan rakyat dan perubahan struktural.

Dari sekian banyak kelompok studi di Yogyakarta, KMPD dan Rode termasuk yang bisa membangun jaringan lebih luas. Kembali Syaiful Bahri, salah seorang pendiri Rode.

Saiful: Kedung Ombo. Itu adalah kasus besar pertama yang ditangani

Melalui pendampingannya, kepada masyarakat korban kebijakan orde baru itu, KMPD dan Rode menyatu dengan kelompok-kelompok lain, membentuk organisasi gerakan mahasiswa. Maka lahirlah Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta.

Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta dicita-citakan bisa menjadi alat pengubah keadaan. Salah seorang pendirinya adalah Brotoseno.

Brotoseno: Kayaknya kita kalau berkutat di lingkungan pers mahasiswa, sebagimana maaf, melingkar-lingkar di kelompok studi-kelompok studi, kayaknya gak riil. Kemudian kami mengambil sikap sepertinya kita harus percaya bahwa perubahan itu harus kita mulai dari gerakan massa.

Pendiri lainnya, Muhammad Toriq berkata, organisasinya beranggotakan banyak kalangan dan kelompok. Salah satunya pers mahasiswa.

Mohamad Toriq: Pers mahasiswa pada periode itu menjadi pemasok utama aktivis mahasiswa. Saya rasa bukan hanya di Yogya. Saya rasa kalau di Yogya sudah jelas dan pasti. Aktivis mahasiswa Jogja pada tahun 1980an itu embrionya adalah aktivis pers mahasiswa pada kampus-kampus utama seperti UGM, UII dan IAIN.

Gerakan ini terus bergulir dan merekrut kader. Selain kuliah, Widihasto Putra, mahasiswa Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 1993, juga sibuk menggalang kekuatan. Mereka ingin mengkoreksi dan mengkritik kekuasaan Soeharto yang makin otoriter.

Melalui Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta (P3Y), sebuah organisasi gerakan mahasiswa dan pemuda, Widihasto menggalang aksi-aksi jalanan. Aksi dengan isu yang menohok langsung kekuasaan Soeharto baru mulai akhir 1997.

Widihasto: Kalau generasi yang saya alami itu, memang semakin mengkristal menjelang 1998. Artinya sudah mulai spanduk atau orasi itu sudah turunkan Soeharto. Itu tidak terjadi ketika tahun 1995 dan 1996 itu belum.

P3Y dan KPRP, dua organisasi mahasiswa yang terlibat aktif gerakan jalanan menjelang kejatuhan Soeharto di luar kampus.

Di dalam kampus, gerakan penggulingan Soeharto juga terjadi. Gerakan ini dipelopori oleh Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Yogyakarta (FKSMY). Menurut salah seorang pendirinya, Eko Prastowo, FKSMY mengambil alih fungsi senat yang diberangus Soeharto.

Eko Prastowo: Waktu dulu kan ada NKK/BKK 1970an. Kemudian 1990an awal ada peraturan menteri soal SMPT dan tidak ada proses demokratisasi di kampus. Dengan adanya itu ruangan temen-temen yang kritis menjadi lebih sempit, sehingga senat hanya menjadi panitia ospek dan menjadi kepanjangan kegiatan kampus.

Di Yogyakarta, gerakan jalanan menuntut lengsernya Soeharto tidak hanya dimonopoli mahasiswa. Menurut aktivis Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta (P3Y) Widihasto, rakyat juga terlibat aktif.

Widihasto: Kecuali elemen mahasiswa, juga kampung. Jadi waktu itu banyak pemuda kampung yang kita organisir kemudian terlibat dalam aksi itu. Dan mereka kita persilahkan untuk membawa identitas masing-masing. Misalnya laskar Wirotomo, itu kan nama kampung. Kemudian masyarakat Wirobrajan. Dulu ada namanya Mas Wiranto masyarakat Wirobrajan anti Soeharto. Kemudian ada masyarakat Sewon, Gunung Kidul, Kulon Progo itu terlibat

Strategi berbeda diterapkan Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP). Kata salah seorang bekas aktivisnya, Putut Eko Ariyanto, organisasinya melawan Soeharto dengan gerakan jalanan.

Putut: Kenapa disebut pelopor, karena dia mempelopori isu penting yang saat itu belum berani disuarakan elemen lain. Misalnya kalau elemen yang lain turunkan harga, ini sudah turunkan Soeharto. Bahkan pembakaran patung Harto di Boulevard UGM itu kan panitia aksinya Senat UGM, KPRP dan elemen lain membawa patung itu saat dibuka panitia panik semua.

Selain memilih isu yang lebih terbuka dan radikal, KPRP juga menggunakan metode bentrok dengan aparat untuk menaikkan tensi perlawanan rakyat.

Putut: KPRP nyaris menjadi dalam tanda kutip pelopor. Kenapa disebut pelopor karena metodenya itu memakai metode-metode lama, sebelum SMID dan PRD dihancurkan, yaitu bentrok dengan aparat logikanya itu akan mempertajam kontradiksi yang ada di dalam masyarakat.

Sementara, Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Yogyakarta (FKSMY) memilih melawan Soeharto dengan cara lebih lunak. Salah seorang pendirinya, Eko Prastowo menyebut, isu awal yang diusung lembaganya sebatas demokratisasi kampus.

Eko: Yang paling awal adalah demokratisasi kampus. Jadi bagaimana lembaga mahasiswa menjadi lebih demokratis dan berpihak pada perjuangan pro-demokrasi. Itu yang awal. Baru kemudian ada krisis. Nah kita sambut seperti gerakan-gerakan yang lain. Karena waktu itu kalau mendorong mahasiswa untuk lebih radikal itu kan agak susah. Paling demonstrasi berapa orang yang mau. Waktu itu siapa sih yang mau digebukin tentara.

Beragam unsur, beragam strategi perlawanan, semunya bahu-membahu melawan otoriterisme Soeharto. Menurut aktivis P3Y Widihasto, semua menyatu membentuk Gerakan Rakyat Yogyakarta (GRY).

Widihasto: Menjelang Mei eskalasi semakin tinggi. Fampera berinsiatif mengundang elemen-elemen aksi yang lain, termasuk KPRP untuk ayo kita duduk bersama. Tampaknya semakin gawat. Bagaimana kalau kita manfaatkan 20 Mei sebagai momentum untuk melakukan aksi besar-besaran. Dan waktu itu rapat beberapa kali. Pertama di Janabadra kemudian di IAIN, di APMD, kembali lagi ke Janabadra. Rapatnya dihadiri orang dan sudah tidak lagi Fampera karena sudah cair dan nama yang disepakati adalah gerakan rakyat Jogja.

Nama Gerakan Rakyat Yogyakarta dipilih bukan semata oleh mahasiswa, tapi aksi bersama mahasiswa dan rakyat. Melalui proses panjang, disepakati untuk melakukan aksi besar-besaran pada 20 Mei 1998. Hari Kebangkitan Nasional itu sengaja dipilih sebagai simbol kebangkitan Indonesia dari berbagai keterpurukan. Seperti dituturkan Widihasto.

Widihasto: Kebangkitan ya kita ingin memakai spirit kebangkitan nasional untuk kebangkitan Indonesia atas keterpurukan politik, keterpurukan ekonomi, keterpurukan harga diri waktu itu.

Isu yang diusung dalam aksi itu jelas, yaitu turunkan Soeharto.

Widihasto: Kita ingin mengatakan dan menegaskan bahwa turunkan Soeharto waktu itu salah satu statement yang dipilih dalam pernyataan sikap adalah turunkan Soeharto

Akhirnya, pada 20 Mei ratusan ribu orang memadati alun-alun Kraton Yogyakarta. Mereka berduyun-duyun datang untuk menuntut satu hal, turunkan Presiden Soeharto. Sehari berikutnya, Soeharto mundur.