KENDENG MENUNDUKKAN KEPALA
Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017
Sejak Senin 13 Maret 2017, warga pedesaan di kawasan bentang alam karst Kendeng memulai aksi kolektif untuk memprotes pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menanggapi penolakan warga kawasan Kendeng terhadap rencana pendirian dan pengoperasian pabrik Semen milik PT Semen Indonesia di Rembang dan semen lainnya di pegunungan Kendeng. Termasuk dalam ketidak-becusan tersebut antara lain adalah pengambilan keputusan dan tindakan yang mempermainkan hukum, termasuk mengecilkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang membatalkan Ijin Lingkungan; dan mengganggu usaha warga untuk mendapatkan keadilan atau membiarkan berlangsungnya gangguan dari pihak lain.
Sejak awal, seluruh peserta aksi #DipasungSemen2 didampingi dan dimonitor selalu oleh tim Dokter yang siaga di YLBHI dan di lokasi aksi. Aksi protes berlangsung setiap hari, dimulai dari siang sampai sore, dengan fasilitas sanitasi lapangan dan peneduh. Pada sore hari peserta aksi pulang ke tempat beristirahat dan menginap di YLBHI jalan Diponegoro Jakarta.
Kamis, 16 Maret 2017, datang menyusul kurang-lebih 55 warga dari kabupaten Pati dan Rembang bergabung melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen. Dua Puluh dari yang datang memulai mengecor kaki di hari Kamis tersebut. Bu Patmi adalah salah satu dari yang mengecor kaki dengan kesadaran tanggung jawab penuh. Beliau datang sekeluarga, dengan kakak dan adiknya, dengan seijin suaminya.
Senin Sore, 20 Maret 2017, perwakilan warga diundang Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki untuk berdialog di dalam kantor KSP. Pada pokoknya, perwakilan menyatakan menolak skema penyelesaian konflik yang hendak digantungkan pada penerbitan hasil laporan KLHS yang sama tertutupnya dan bahkan samasekali tidak menyertakan warga yang bersepakat menolak pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia dan Pabrik Semen lainnya di Pegunungan Kendeng tersebut.
Senin 20 Maret 2017, pada malam hari, diputuskan untuk meneruskan aksi tetapi dengan mengubah cara. Sebagian besar warga akan pulang ke kampung halaman, sementara aksi akan terus dilakukan oleh 9 orang. (Alm) Bu Patmi (48) adalah salah satu yang akan pulang sehingga cor kakinya dibuka semalam, dan persiapan untuk pulang di pagi hari.
Bu Patmi sebelumnya dinyatakan sehat dan dalam keadaan baik oleh Dokter. Kurang lebih pukul 02:30 dini hari (Selasa, 21 Maret 2017) setalah mandi, bu Patmi mengeluh badannya tidak nyaman, lalu mengalami kejang-kejang dan muntah. Dokter yang senang mendampingi dan bertugas segera membawa bu Patmi ke RS St. Carolus Salemba. Menjelang sampai di RS, dokter mendapatkan bahwa bu Patmi meninggal dunia. Pihak RS St. Carolus menyatakan bahwa bu Patmi meninggal mendadak pada sekitar Pukul 02.55 dengan dugaan jantung. Innalillahi wa inna lillahi roji'un.
Pagi ini jenasah almarhumah Bu Patmi dipulangkan ke desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati untuk dimakamkan di desanya. Dulur-dulur kendeng juga langsung pulang menuju Kendeng.
Kami segenap warga-negara Republik Indonesia yang ikut menolak pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng berduka atas kematian bu Patmi dalam aksi protes penolakan di seberang Istana Presiden ini. Kami juga ingin menegaskan kekecewaan kami yang mendalam terhadap tumpulnya kepekaan politik para pengurus negara, termasuk pengingkaran tanggung-jawab untuk menjamin keselamatan warga-negara dan keutuhan fungsi-fungsi ekologis dari bentang alam pulau Jawa, khususnya kawasan bentang alam karst Kendeng. Sungguh ironis, bahwa di satu pihak pemerintah Republik Indonesia menggembar-gemborkan itikad dan tindakan untuk ikut menjadi resolusi sejati dari krisis perubahan iklim dan hilangnya keragaman hayati, menegakkan hukum dan melakukan pembangunan dari pinggiran. Kematian Bu Patmi menjadi saksi bagi seluruh dunia, bahwa warga masyarakat Indonesia masih harus menyatakan sikapnya sendiri karena tidak adanya pembelaan sama-sekali dari pengurus kantor-kantor pemerintah yang seharusnya mengurus nasib warga negara. Kami juga menyampaikan kepada kalangan berpendidikan tinggi yang justru memilih peran sebagai juru-sesat untuk mengaburkan duduk-perkara masalah yang tengah dilawan oleh warga kawasan bentang alam karst Kendeng, termasuk sebagian pengurus media massa bahwa upaya-upaya bangsa Indonesia dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Koalisi Untuk Kendeng Lestari
CP :
Mokh Sobirin - Desantara [0822 2072 1419]
Muhamad Isnur - YLBHI [0815 1001 4395]
It's always exhausting struggle, and that's Exhausting fruitful and If Not Sure Not Sure Can Participate fruiting Enjoying a result '(Wise Men)
Kamis, 23 Maret 2017
Rabu, 22 Maret 2017
MANIFESTO POLITIK FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA
MANIFESTO POLITIK
FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA
FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA
REVOLUSI
ADALAH PRAKTEK. Tugas pergerakan adalah menyusun penjelasan sistematis tentang
revolusi sebagai tindakan melangsungkan pembebasan untuk kelas tertindas oleh
kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing. Itulah paragraf
pembukaan revolusi, bukan dalam pengertian sebagai ritus pemberhalaan sejarah
para ideolog atau politikus besar yang telah MEMBACAKAN DIRI di hadapan ingatan
pengetahuan manusia modern. Sejarah itu nyata adanya. Teori revolusi yang tidak
disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak
didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan
bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa
kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis
ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia.
Untuk maksud itu, elemen-elemen pergerakan Rakyat Indonesia telah berkumpul di
Yogyakarta pada tanggal 27-31 Maret 2000 dan merencanakan manifesto berikut ini
yang akan diterjemahkan dalam seluruh BAHASA PERJUANGAN.
LIMA
PULUH LIMA TAHUN setelah Revolusi Agustus 1945, Tanah dan Air Indonesia masih
tergenang praktek-praktek ekonomi politik yang merupakan lanjutan sekaligus
perwakilan dari kolonialisme-imperialisme. Keterasingan dari tanah air
kesadaran sebagai akibat niscaya dari penundukan ekonomi politik Indonesia
kepada kapitalisme internasional, mulai zaman monopoli perdagangan VOC sampai
perdagangan bebas, telah mengantarkan keharusan pada masyarakat Indonesia untuk
menerima mental yang ditakdirkan kepadanya sebagai paria ekonomi politik
internasional.
KEKOSONGAN MASYARAKAT, Populi Vacante, yang di atasnya elit kekuasaan pasca
Orde Baru kembali memobilisir bangsa Indonesia ke dalam benak masa lalu politik
aliran dan hubungan-hubungan tidak jelas yang dimilikinya dengan kebutuhan
pemulihan ideologi pasca KEKOSONGAN MORAL yang —sejak Kontra Revolusi 1965—
digunakan Soeharto menyumpal kesadaran bangsa Indonesia dengan proyek besar
developmentalisme merupakan dasar keprihatinan bagi terus dilangsungkannya
tindakan-tindakan menyusun masa depan pergerakan.
MEI
1998 ADALAH PELAJARAN. Ini zaman, zaman permulaan. Awal bagi Rakyat Indonesia
menemukan sejarah dan kemanusiaannya dengan kesadaran, dengan pengetahuan. Dan,
para pemuda —satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah keadaan sosiologis
yang ditentukan pemimpin-pemimipin hipokrit dan kelompok-kelompok politik
oportunis serta situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideologi
ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan; satu-satunya tenaga yang
tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan— adalah tenaga
inti revolusi yang mempunyai tugas menghentikan dominasi dan hegemoni kesadaran
kaum penindas atas mereka yang tertindas sehingga rantai pembodohan-pemiskinan
rakyat dapat segera dihancurbuyarkan.
Perkenalan massa dengan ideologi serta organisasi perjuangan musti dibikin
terjadi; ia adalah syarat mutlak pembebasan. Sudah tentu, ia berbeda dengan
—misalnya— perkenalan seorang aktivis UKM dengan teman barunya di UKM atau
universiteit lain. Berbeda pula dengan perkenalan seorang perjaka yang sedang
melancong dengan gadis ayu yang ia temui di perlancongannya. Perkenalan yang
kita bicarakan di sini adalah proses dialektika massa dalam menemukan kesadaran
dan cita-citanya yang sejati yang sudah ia miliki tapi, selama ini, terhalang
kabut gelap pemiskinan dan pembodohan. Para pelopor adalah mereka yang terus
memutar turbin sejarah yang bakal mengusir kabut gelap itu.
Front Perjuangan Pemuda Indonesia percaya bahwa posisi pergerakan, organisasi
dan ideologi perjuangan, sebagai suatu siasat kebudayaan pemuda mensikapi
penderitaan rakyat menghadapi penindasan-penghisapan, bukan dan tidak boleh
berada di bawah (ke)sadar(an) massa. Posisi seperti itu hanya akan menghasilkan
pengulangan sejarah HILANGNYA REVOLUSI semata-mata sebagai mimpi buruk rakyat
buruh dan tani.
Bagi Front Perjuangan Pemuda Indonesia, militansi adalah gemuruh massa dalam
suatu gerak teratur dan efektif yang hanya mungkin dicapai melalui penggalangan
ideologis dan organisasi politik yang berdiri kokoh bersama massa, di dalam
massa, untuk massa; terlihat atau tidak terlihat, terdengar atau tidak
terdengar, GEMURUH ITU HARUS KITA SIAPKAN. Seluruh tenaga dan pikiran harus
kita curahkan agar posisi kebudayaan pergerakan, ideologi dan organisasi
perjuangan, segera dan seutuhnya menjadi MILIK SADAR MASSA.
KEMANUSIAAN.
Dari dan dengan kemanusiaan, kita mengukur gerak sejarah dan ideologi serta
pengetahuan yang dilahirkannya. Kemajuan ideologi dapat kita baca dari
kesetiaannya kepada kemanusiaan. Demikian sebaliknya, ideologi akan terbaca
sebagai intensitas kemunduran ketika ia telah menyesatkan diri sebagai cara
berfikir yang membangkaikan manusia. Pada saat yang sama, akal budi —pasangan
terbaik sekaligus terakhir dari kemanusiaan— adalah alat bagi sejarah menemukan
tempatnya sebagai pengetahuan yang melibatkan semua manusia apapun identitas
genetisnya.
Pendewasaan fikiran dan peneguhan tindakan menyangkut sejarah, itulah
pengertian kita tentang ideologi. Dengan ideologi, kita mengambil sikap. Kepada
kemanusiaan, kita memihak. Diulang dalam pengertian biasa, yang kita katakan
HANYALAH pemihakan kepada kemanusiaan bahkan sejak dari tingkat gagasan.
Pertumbuhan pesat rasionalisasi atas dunia dan relasi-relasi sejarah yang
berlangsung di dalamnya, saat ini, telah mencapai titik di mana ternyata
masyarakat Indonesia masih butuh perjalanan panjang menyusun perjuangan
menemukan kemanusiaan. Hubungan yang —dengan pertumbuhan pesat rasionalitas
itu— berhasil disederhanakan antara manusia dengan kebenaran, sejauh ingatan
yang masih bisa kita kenali, justru menjerumuskan manusia dalam sejarah yang
seakan tidak memberi kemungkinan untuk pembangkaian masyarakat Indonesia
berhenti sejak zaman culturstelsel Belanda sampai ideestelsel Orde Baru, mulai
praktek monopoli VOC di masa lalu sampai kebijakan mau menang sendiri
negara-negara industri maju.
Bagi kita, dengan pengalaman serta ingatan yang mungkin masih terlalu pendek
atau bahkan sepele bin(ti) remeh temeh, pembangkaian itu tidak lagi boleh
terjadi. Semua manusia berhak DIADILI dengan hidup yang memberinya kesanggupan
sama rata dengan manusia lain baik secara ekonomi maupun politik. Setiap
manusia wajib DIADILI dengan hidup yang memperjuangkan kesederajatan
kebudayaan. Tidak ada manusia yang lebih manusia dibanding manusia lainnya.
Kondisi tidak manusiawi yang dialami segolongan manusia yang darinya segolongan
manusia lain mendapatkan kondisi yang lebih manusiawi nyatalah bukan keadaan
alamiah yang terjadi begitu saja dari kehendak tangan-tangan gaib yang
menguasai masa lalu dan masa depan dunia.
Kalau kita tertindas dan kemudian menyadari betapa hidup ekonomi politik kita
sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat kemanusiawian, pertanyaan pertama kita
bukanlah apa agama yang kita imani di masa lalu atau ideologi apa yang akan
kita anut di masa depan. Pertanyaan utama bagi kita, DI MANA dan APA YANG KITA
LAKUKAN —dengan ideologi dan pranata keimanan yang kita yakini itu— ketika
sebuah proses penindasan terjadi? Sangat bisa jadi, bukannya menyatakan sikap
dengan ideologi atau keimanan yang kita miliki, diam-diam kita malah merubah
perlakuan terhadap ideologi atau keimanan kita sendiri untuk kemudian —sadar
dan tidak sadar— terlibat sebagai bagian tak terlepas dari penindasan. Di
sinilah, kita tidak dapat melupakan yang dipercayai Karl Marx bahwa lingkungan
cara produksi dapat merubah lingkar fikiran suatu masyarakat, termasuk cara
pandang masyarakat terhadap dirinya sendiri.
Yang kita tuju tentu bukan memaksudkan sejarah sebagai sebuah legitimasi untuk
“menguasai keadaan” baik di saat ini maupun di masa datang. Penindasan itu
ibarat pabrik: produknya adalah sejarah yang dihasilkan sebagai proses
pembentukan ingatan masyarakat tertindas sebagai bahan baku sekaligus
konsumennya. Menemukan kembali ingatan masyarakat Indonesia yang terlipat
relasi ekonomi politik tidak adil, hanya itu cita-cita yang mengharuskan kita
berbicara tentang ideologi; tentang sejarah dan pencerahan-pengkayaan
kesadaran; tentang revolusi.
Perkara kita menyangkut kemanusiaan berawal dari asal-usul obyektif susunan
masyarakat Indonesia yang hanya dapat dilihat pada sejarah sebagai remah-remah
yang tersisa dari pesta jamuan penindasan di mana rakyat Indonesia diterima
sebagai subyek sejarah dan lebih luas lagi —menjadi bagian perjalanan
kebudayaan dunia— karena memang ada rombongan kolonial dan para petualang
imperialis menemukan tanah dan air di mana rakyat Indonesia hidup dan
menghidupkan kebudayaan, menyelenggarakan identitas kesadaran. Hal mutakhir
dari kenyataan ini dapat terlihat dari Indonesia sebagai entitas-kebangsaan
yang susunan sejarahnya tak lebih tidak kurang dari keadaan yang beberapa hari
lalu dianjurkan penindas terbaik di seluruh dunia: Soeharto, yang menduduki
peringkat lebih ulung di atas Adolf Hitler.
Masih soal jamuan: ia mustahil terselenggara dengan penuh kegembiraan tanpa
golongan pribumi kaya dan berkuasa yang terus menerus menipu rakyatnya demi
bertambahnya kekayaan dan langgengnya kekuasaan. Dengan tipuan itu, rakyat
Indonesia dikeringkan sampai hanya sebagai batang-batang yang kurus kering,
miskin dan bodoh, untuk dimasukkan kedalam tungku yang diatasnya gulai
kesejahteraan alamiah Indonesia dimasak dan dibikin senantiasa hangat sehingga
tidak pernah ada penindas atau penghisap yang kecewa.
Tipuan itu beroperasi melalui mitos-mitos palsu (!) yang tidak bisa sedikitpun
memberi inspirasi bagi rakyat menemukan hak atau kedaulatan sejarahnya, melalui
akrobat kebenaran yang menyelubungi nafsu telanjang kekuasaan ekonomi politik
segolongan kecil pewaris kekuasaan dewa-dewa, melalui pengetahuan semu yang
ditiup-tiup sebagai bius kesadaran oleh mereka yang mengaku telah maju
fikirannya.
Dengan mitos dan pengetahuan semu, rakyat dijauhkan dari alam fikiran
rasionalnya; kesadaran rakyat diusir dari kenyataan sejarahnya sendiri.
Pembebasan Besar hanya dapat dimulai dengan mengakhiri pengungsian panjang
rakyat Indonesia dari dunia sadar alam rasionalnya. Sudah bukan waktunya
kesadaran rakyat Indonesia membiarkan dirinya bungkuk karena pembodohan dan
pemiskinan. Bangkitlah, Indonesia; bangunkan jiwa merdekamu karena dalam
kemerdekaan yang kau biarkan tidur itulah, musuh-musuhmu, para penindasmu,
menemukan tempat terbaik untuk menjalankan mesin ekonomi politik pemiskinan
sampai kamu bodoh, menyelenggarakan pembodohan yang telah membuat kamu semua
miskin.
Percayalah pada akal budi yang akan menuntun kita menemukan kembali hak serta
kedaulatan sejarah yang dengannya kita dapat mengenali asal-usul penindasan,
yang dengannya kita akan segera kerjakan pembebasan. (Benar!) PEMBEBASAN HARUS
DIKERJAKAN, karena ia bukanlah harapan atau utopia di saat kita menyadari atau
mengalami penindasan-penghisapan; ia adalah tindakan sadar di lapangan ekonomi
dan politik berdasarkan pemahaman obyektif atas sejarah masyarakat dan
mekanisme sosial yang melahirkan penindasan.
Partisipasi
politik yang terbuka dan mengambil bentuk pada Pemilu multipartai pertama
sekejatuhan Soeharto hanyalah bagian artifisal sejarah. Tanpa validasi
bertanggungjawab atas ideologi, liberalisasi itu lebih menyerupai gambaran
MASYARAKAT TANPA PRINSIP yang menghamba pada kesemuan. Diperparah dengan citra
mediatik di mana ruang tersebut tergambar, derajat ketidakbermaknaan
ruang-ruang tersebut bagi bangunan sejarah manusia Indonesia makin
menjadi-jadi.
Saat ini, kita berada di titik paling krusial dalam sejarah Indonesia. Hanya
tersisa dua kemungkinan bagi perjuangan dan cita-cita kerakyatan: MAJU ATAU
HILANG UNTUK SELAMANYA.
Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat. Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan.
Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat. Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan.
Pendek kata, sejarah harus dikembalikan pada esensi jiwa sosial di mana
perubahan terjadi sebagai hal ALAMIAH DARI MASYARAKAT yang diharuskan (! oleh
penindasan-penghisapan) untuk membebaskan diri. Buku suci perubahan adalah
logika sosial yang terbentuk dari bukan hanya satu, dua, atau tiga kelas
sosial, tapi JUGA dari semesta kesadaran yang mengendap-mendasari relasi sosial
antar kelas dalam masyarakat. Historisitas-otentisitas perubahan, kesejatian
revolusi, hanya mungkin diawali dari perlawanan atas penindasan-penghisapan
otentik-historis yang terjadi dalam setiap fase di setiap tempat hidup
masyarakat.
Ambruknya penindasan otentik-historis tidak bisa diukur hanya dari runtuhnya bangunan operasional penindasan. Revolusioner sejati adalah mereka yang percaya pada kedaulatan kelas tertindas dalam memperjuangkan kesadarannya sendiri baik sebagai manusia maupun sebagai masyarakat. Dengan kedaulatan inilah, kelas tertindas mentransformasi diri sebagai kekuatan aktif dalam setiap proses sejarah.
Ambruknya penindasan otentik-historis tidak bisa diukur hanya dari runtuhnya bangunan operasional penindasan. Revolusioner sejati adalah mereka yang percaya pada kedaulatan kelas tertindas dalam memperjuangkan kesadarannya sendiri baik sebagai manusia maupun sebagai masyarakat. Dengan kedaulatan inilah, kelas tertindas mentransformasi diri sebagai kekuatan aktif dalam setiap proses sejarah.
Salah satu otentifikasi historis yang dapat dikemukakan di sini adalah konsepsi
Karl Marx perihal materialisme historis —berkembang pada Lenin melalui Engels
sebagai materialisme dialektis— sebagai penentu sejarah perkembangan masyarakat
yang merupakan prestasi Marx setelah mengkritik Hegel sebagai “berjalan dengan
kepala, berfikir menggunakan kaki” karena prinsip-prinsip idealismenya. Dari
model Marxian-Engelsian ini kita dapat mengajukan pertanyaan: bagaimana dengan
rakyat tertindas bangsa terjajah yang secara nyata —karena eksploitasi super
intensif Kapitalisme dan bukan karena Hegellianisme menggebu pun juga bukan
karena Kepasrahan-Kosmologis-Perennial— telah NYUNGSANG NJEMPALIK (maaf, bhs.
Jawa, artinya: diputar balik nasibnya secara paksa sehingga) harus menggunakan
kepala untuk berjalan dan menggunakan kaki untuk berfikir.
Bercermin pada ‘Buruh Seluruh Dunia Bersatulah!’ kita juga perlu jelas melihat
model pembagian kerja ekonomi politik yang menjadi ruang di mana Rakyat
Indonesia dilibatkan dalam pengertian komodifikasi tenaga-kerja sebagaimana
dimaksudkan Marx dan Engels. Untuk memastikan kelas revolusioner di Indonesia,
kita perlu melihat mekanisme industrial —archetype gagasan Marx-Engels— yang
berlaku di Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang.
Sebagai obyektifitas ekonomi politik penindasan, siapa atau apakah yang
terindas-terhisap hukum produksi kapital? Buruh, tani, tanah dan air, atau
bahkan kesadaran sejarah masyarakat Indonesia juga telah terhisap sampai kering
oleh penindasan ekonomi politik imperialisme-kolonialisme yang telah dengan
sukses memanipulir sejarah Indonesia semata-mata sebagai KESADARAN MASYARAKAT
TEMUAN?
Satu kritik awal perlu kita nyatakan menyangkut kesibukan ideolog modern
meributkan gagasan perubah dunia sampai mereka lupa pada sejarah yang telah
lama merubah dunia gagasan mereka. Dari kritik ini, Front Perjuangan Pemuda
Indonesia memandang bahwa Ketidakadilan Diskursif yang menjadi STRUKTUR ATAS
dari setiap periode penindasan yang dialami rakyat Indonesia juga harus
diperjuangkan untuk dibongkar.
Ketidakadilan Diskursif bukan sebuah terminologi tentang ketidakadilan dan
perjuangan membangun keadilan an sich sebagai realitas dunia gagasan. Ia adalah
penekanan kita pada proses penghisapan ekonomi politik —baik dalam strateginya
memenangkan kelas penindas maupun sebagai akibat penindasan berkelanjutan— yang
mempengaruhi kesadaran historis kelas tertindas.
Dari penekanan ini, kita bisa mengupayakan
sistem gagasan yang dapat melangkahi setiap kebutuhan perjuangan.
Dasar sikap dan sikap dasar Front Perjuangan Pemuda Indonesia, yang yakin bahwa
klaim kematian ideologi sekalipun bukan alasan yang MASUK AKAL dan SESUAI BUDI
untuk menghentikan perjuangan, adalah kepercayaan pada mentalitas pembebasan
sebagai proses dialektis manusia dengan sejarahnya, masyarakat dan
keharusan-keharusan ekonomi politiknya.
Pemulihan ideologi masyarakat yang hanya mungkin dilalui dengan pengorganisiran
seluruh kekuatan ekonomi politik rakyat merupakan langkah perjuangan yang harus
kita sadari selekas dan setuntas-tuntasnya. Dengan berpegang teguh pada garis
massa, program maksimum pergerakan, saat ini, adalah mengutuhkan kedaulatan
rakyat atas tanah, air dan udara sebagai kekuatan produktif masyarakat
Indonesia.
Dari
TEORI NILAI LEBIH-nya Karl Marx, Kapitalisme internasional telah “belajar”
meneguhkan supremasi kolonialis-imperialistiknya di negara-negara dunia ketiga
melalui apa yang dapat kita sebut sebagai NILAI LEBIH TEORI: sentuhan
teknologis negara-negara industri maju atas sumber daya alam Indonesia,
misalnya, menjadi keajaiban yang dengan keajaiban itu Rakyat Indonesia
diawet-bekukankan dalam keterasingan dari nilai produktif tanah dan air
negerinya sebagai lingkungan material dari kebudayaanya.
Mari
kita lihat kronologi berikut ini.
Menguatnya
desakan gerakan pro-lingkungan di beberapa negara industri maju dan kemampuan
adaptatif yang dimiliki sistem produksi kapitalis akan memaksa titik-titik
pusat Kapitalisme, yang sejak periode dekolonisasi 1945-1965 telah terpencar
menjadi raksasa-raksasa gagah Multi National Corporation, untuk mencari dan
menemukan formula penyelamatan dengan mengembangkan sistem produksi ramah
lingkungan. Mahalnya tehnologi pengolahan limbah –-dalam kasus atau sektor
industri tertentu, ia membutuhkan investasi yang bahkan lebih besar dibanding
biaya total produksi— masih menjadi masalah bagi keperluan perkembangan
kapitalisme industrial masa depan.
Andaian kita, beberapa wilayah Gunung Berapi di Indonesia pernah memuntahkan
lava. Praksis dan teoritis, kita terima bahwa di manapun, kesuburan tanah lahan
pertanian pasca letusan mengalami peningkatan, lebih tepat disebut peremajaan,
dibanding sebelum letusan. Pandangan konvensional mengatakan bahwa peremajaan
itu terjadi karena muntahan letusan adalah tanah baru yang menutup lapisan
tanah lama dan degradasi kesuburan yang dialaminya selama proses pertanian
tradisional maupun modern.
Akan tetapi, dengan asumsi bahwa pandangan konvensional itu tidak sepenuhnya
benar mengingat bahwa pembentukan lava terjadi melalui proses geo-vulkanik yang
panjang; kita kemudian harus terima bahwa peremajaan tersebut terjadi karena
memang muntahan gunung berapi mengandung mineral alami —dikenal dengan sebutan
Zeolith— yang memiliki daya serap tinggi terhadap ion-ion yang tersisa —dalam
kasus pertanian— dari pestisida dan bahan kimia lainnya.
Di masa mendatang, “sentuhan” tehnologi atas zeolith akan memungkinkan
diciptakannya sistem pengolahan limbah dengan biaya yang jauh lebih murah
dibanding yang saat ini beredar di pasaran internasional. Tanpa maksud
berlebihan, tehnologi berbasis mineral alami inilah yang akan menjadi salah
satu tumpuan sistem produksi kapitalisme. Saat ini, walaupun memiliki
sumber-sumber yang cukup untuk dieksploitir, Jepang memenuhi seluruh
“kebutuhan” zeolith-nya dari Indonesia. Sudah hukum sejak awal, pada waktunya
nanti, pengusaha Indonesia harus membeli sistem pengolah limbah berbasis
zeolith dengan harga yang jauh lebih mahal dibanding harga atau nilai ekspor
yang diterima Indonesia sekarang.
Itu adalah contoh. Hanya satu contoh betapa akibat pembodohan selama ini rakyat
Indonesia bahkan sudah harus menanggung kemiskinan sampai sekian generasi yang
akan datang. Mengingat, bahwa, sampai saat ini, industri utama Indonesia adalah
industri orientasi ekspor dan bukan substitusi impor, kecil kemungkinan
penutupan biaya pertambahan nilai impor tehnologi dengan menaikkan harga barang
hasil produksi; kalau di masa Orde Baru, upah buruh harus dipotong untuk biaya
siluman pengisi laci-laci birokrasi, kapitalisme liberal yang menjadi skenario
lanjutan dari negara-negara industri maju saat ini akan terus mencari cara
untuk menutup biaya pengganti nilai impor tehnologi dengan menekan upah buruh
di Indonesia serendah-rendahnya.
Yang jelas, skenario lanjutan dari pembagian kerja ekonomi internasional yang
diturunkan dari kesepakatan antar negara-negara industri maju merupakan medan
di mana pergerakan Rakyat Indonesia dan umumnya Pergerakan Rakyat Negara-negara
Dunia Ketiga harus mempersiapkan diri berhadapan secara langsung dengan
komersialisasi lebih lanjut kebudayaan masyarakat —manusia sebagai tenaga kerja
dan sumber alam— pinggiran, untuk menjamin kondisi selalu pulih dan mulia dari
masyarakat-masyarakat pusat di negara-negara industri maju.
UNTUK
mengarahkan seluruh tenaga dan kerja pergerakan bagi sepenuh-penuhnya kesadaran
dan sekuat-kuatnya organisasi massa di semua sektor strategis masyarakat
Indonesia dibutuhkan organisasi dan kader-kader perjuangan dengan daya jelajah
teoritis dan praksis yang memungkinkan rakyat memperdengarkan SUARA PERLAWANAN
melalui TINDAKAN pergerakan di jantung ekonomi politik yang mendenyutkan nadi
penindasan.
Front Perjuangan Pemuda Indonesia didirikan sebagai satuan kesadaran dan
tindakan memilitankan pengorganisiran tak kenal ampun sebagai langkah intensif
dan efektif menyusun martabat ekonomi politik Rakyat Indonesia menuju kehidupan
nasional yang demokratis dan berkedaulatan.
MENDIDIK
RAKYAT DENGAN PERGERAKAN, MENDIDIK PENGUASA DENGAN PERLAWANAN.
Diumumkan
di Jakarta, 5 Juli 2000 oleh Dewan Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia
(FPPI).
Langganan:
Postingan (Atom)