Kamis, 23 Maret 2017

KENDENG MENUNDUKKAN KEPALA

KENDENG MENUNDUKKAN KEPALA

Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017

Sejak Senin 13 Maret 2017, warga pedesaan di kawasan bentang alam karst Kendeng memulai aksi kolektif untuk memprotes pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menanggapi penolakan warga kawasan Kendeng terhadap rencana pendirian dan pengoperasian pabrik Semen milik PT Semen Indonesia di Rembang dan semen lainnya di pegunungan Kendeng. Termasuk dalam ketidak-becusan tersebut antara lain adalah pengambilan keputusan dan tindakan yang mempermainkan hukum, termasuk mengecilkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang membatalkan Ijin Lingkungan; dan mengganggu usaha warga untuk mendapatkan keadilan atau membiarkan berlangsungnya gangguan dari pihak lain.

Sejak awal, seluruh peserta aksi #DipasungSemen2 didampingi dan dimonitor selalu oleh tim Dokter yang siaga di YLBHI dan di lokasi aksi. Aksi protes berlangsung setiap hari, dimulai dari siang sampai sore, dengan fasilitas sanitasi lapangan dan peneduh. Pada sore hari peserta aksi pulang ke tempat beristirahat dan menginap di YLBHI jalan Diponegoro Jakarta.

Kamis, 16 Maret 2017, datang menyusul kurang-lebih 55 warga dari kabupaten Pati dan Rembang bergabung melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen.  Dua Puluh dari yang datang memulai mengecor kaki di hari Kamis tersebut. Bu Patmi adalah salah satu dari yang mengecor kaki dengan kesadaran tanggung jawab penuh. Beliau datang sekeluarga, dengan kakak dan adiknya, dengan seijin suaminya.

Senin Sore, 20 Maret 2017, perwakilan warga diundang Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki untuk berdialog di dalam kantor KSP. Pada pokoknya, perwakilan menyatakan menolak skema penyelesaian konflik yang hendak digantungkan pada penerbitan hasil laporan KLHS yang sama tertutupnya dan bahkan samasekali tidak menyertakan warga yang bersepakat menolak pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia dan Pabrik Semen lainnya di Pegunungan Kendeng tersebut.

Senin 20 Maret 2017, pada malam hari, diputuskan untuk meneruskan aksi tetapi dengan mengubah cara. Sebagian besar warga akan pulang ke kampung halaman, sementara aksi akan terus dilakukan oleh 9 orang. (Alm) Bu Patmi (48) adalah salah satu yang akan pulang sehingga cor kakinya dibuka semalam, dan persiapan untuk pulang di pagi hari.

Bu Patmi sebelumnya dinyatakan sehat dan dalam keadaan baik oleh Dokter. Kurang lebih pukul 02:30 dini hari (Selasa, 21 Maret 2017) setalah mandi, bu Patmi mengeluh badannya tidak nyaman, lalu mengalami kejang-kejang dan muntah. Dokter yang senang mendampingi dan bertugas segera membawa bu Patmi ke RS St. Carolus Salemba. Menjelang sampai di RS, dokter mendapatkan bahwa bu Patmi meninggal dunia. Pihak RS St. Carolus menyatakan bahwa bu Patmi meninggal mendadak pada sekitar Pukul 02.55 dengan dugaan jantung. Innalillahi wa inna lillahi roji'un.

Pagi ini jenasah almarhumah Bu Patmi dipulangkan ke desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati untuk dimakamkan di desanya. Dulur-dulur kendeng juga langsung pulang menuju Kendeng.

Kami segenap warga-negara Republik Indonesia yang ikut menolak pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng berduka atas kematian bu Patmi dalam aksi protes penolakan di seberang Istana Presiden ini. Kami juga ingin menegaskan kekecewaan kami yang mendalam terhadap tumpulnya kepekaan politik para pengurus negara, termasuk pengingkaran tanggung-jawab untuk menjamin keselamatan warga-negara dan keutuhan fungsi-fungsi ekologis dari bentang alam pulau Jawa, khususnya kawasan bentang alam karst Kendeng. Sungguh ironis, bahwa di satu pihak pemerintah Republik Indonesia menggembar-gemborkan itikad dan tindakan untuk ikut menjadi resolusi sejati dari krisis perubahan iklim dan hilangnya keragaman hayati, menegakkan hukum dan melakukan pembangunan dari pinggiran. Kematian Bu Patmi menjadi saksi bagi seluruh dunia, bahwa warga masyarakat Indonesia masih harus menyatakan sikapnya sendiri karena tidak adanya pembelaan sama-sekali dari pengurus kantor-kantor pemerintah yang seharusnya mengurus nasib warga negara. Kami juga menyampaikan kepada kalangan berpendidikan tinggi yang justru memilih peran sebagai juru-sesat untuk mengaburkan duduk-perkara masalah yang tengah dilawan oleh warga kawasan bentang alam karst Kendeng, termasuk sebagian pengurus media massa bahwa upaya-upaya bangsa Indonesia dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Koalisi Untuk Kendeng Lestari

CP :
Mokh Sobirin - Desantara [0822 2072 1419]
Muhamad Isnur - YLBHI [0815 1001 4395]

Rabu, 22 Maret 2017

MANIFESTO POLITIK FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA



MANIFESTO POLITIK
FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA

REVOLUSI ADALAH PRAKTEK. Tugas pergerakan adalah menyusun penjelasan sistematis tentang revolusi sebagai tindakan melangsungkan pembebasan untuk kelas tertindas oleh kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing. Itulah paragraf pembukaan revolusi, bukan dalam pengertian sebagai ritus pemberhalaan sejarah para ideolog atau politikus besar yang telah MEMBACAKAN DIRI di hadapan ingatan pengetahuan manusia modern. Sejarah itu nyata adanya. Teori revolusi yang tidak disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia. Untuk maksud itu, elemen-elemen pergerakan Rakyat Indonesia telah berkumpul di Yogyakarta pada tanggal 27-31 Maret 2000 dan merencanakan manifesto berikut ini yang akan diterjemahkan dalam seluruh BAHASA PERJUANGAN.

LIMA PULUH LIMA TAHUN setelah Revolusi Agustus 1945, Tanah dan Air Indonesia masih tergenang praktek-praktek ekonomi politik yang merupakan lanjutan sekaligus perwakilan dari kolonialisme-imperialisme. Keterasingan dari tanah air kesadaran sebagai akibat niscaya dari penundukan ekonomi politik Indonesia kepada kapitalisme internasional, mulai zaman monopoli perdagangan VOC sampai perdagangan bebas, telah mengantarkan keharusan pada masyarakat Indonesia untuk menerima mental yang ditakdirkan kepadanya sebagai paria ekonomi politik internasional.
 
KEKOSONGAN MASYARAKAT, Populi Vacante, yang di atasnya elit kekuasaan pasca Orde Baru kembali memobilisir bangsa Indonesia ke dalam benak masa lalu politik aliran dan hubungan-hubungan tidak jelas yang dimilikinya dengan kebutuhan pemulihan ideologi pasca KEKOSONGAN MORAL yang —sejak Kontra Revolusi 1965— digunakan Soeharto menyumpal kesadaran bangsa Indonesia dengan proyek besar developmentalisme merupakan dasar keprihatinan bagi terus dilangsungkannya tindakan-tindakan menyusun masa depan pergerakan.

MEI 1998 ADALAH PELAJARAN. Ini zaman, zaman permulaan. Awal bagi Rakyat Indonesia menemukan sejarah dan kemanusiaannya dengan kesadaran, dengan pengetahuan. Dan, para pemuda —satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimipin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis serta situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideologi ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan; satu-satunya tenaga yang tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan— adalah tenaga inti revolusi yang mempunyai tugas menghentikan dominasi dan hegemoni kesadaran kaum penindas atas mereka yang tertindas sehingga rantai pembodohan-pemiskinan rakyat dapat segera dihancurbuyarkan.
 
Perkenalan massa dengan ideologi serta organisasi perjuangan musti dibikin terjadi; ia adalah syarat mutlak pembebasan. Sudah tentu, ia berbeda dengan —misalnya— perkenalan seorang aktivis UKM dengan teman barunya di UKM atau universiteit lain. Berbeda pula dengan perkenalan seorang perjaka yang sedang melancong dengan gadis ayu yang ia temui di perlancongannya. Perkenalan yang kita bicarakan di sini adalah proses dialektika massa dalam menemukan kesadaran dan cita-citanya yang sejati yang sudah ia miliki tapi, selama ini, terhalang kabut gelap pemiskinan dan pembodohan. Para pelopor adalah mereka yang terus memutar turbin sejarah yang bakal mengusir kabut gelap itu.
 
Front Perjuangan Pemuda Indonesia percaya bahwa posisi pergerakan, organisasi dan ideologi perjuangan, sebagai suatu siasat kebudayaan pemuda mensikapi penderitaan rakyat menghadapi penindasan-penghisapan, bukan dan tidak boleh berada di bawah (ke)sadar(an) massa. Posisi seperti itu hanya akan menghasilkan pengulangan sejarah HILANGNYA REVOLUSI semata-mata sebagai mimpi buruk rakyat buruh dan tani.
 
Bagi Front Perjuangan Pemuda Indonesia, militansi adalah gemuruh massa dalam suatu gerak teratur dan efektif yang hanya mungkin dicapai melalui penggalangan ideologis dan organisasi politik yang berdiri kokoh bersama massa, di dalam massa, untuk massa; terlihat atau tidak terlihat, terdengar atau tidak terdengar, GEMURUH ITU HARUS KITA SIAPKAN. Seluruh tenaga dan pikiran harus kita curahkan agar posisi kebudayaan pergerakan, ideologi dan organisasi perjuangan, segera dan seutuhnya menjadi MILIK SADAR MASSA.

KEMANUSIAAN. Dari dan dengan kemanusiaan, kita mengukur gerak sejarah dan ideologi serta pengetahuan yang dilahirkannya. Kemajuan ideologi dapat kita baca dari kesetiaannya kepada kemanusiaan. Demikian sebaliknya, ideologi akan terbaca sebagai intensitas kemunduran ketika ia telah menyesatkan diri sebagai cara berfikir yang membangkaikan manusia. Pada saat yang sama, akal budi —pasangan terbaik sekaligus terakhir dari kemanusiaan— adalah alat bagi sejarah menemukan tempatnya sebagai pengetahuan yang melibatkan semua manusia apapun identitas genetisnya.
 
Pendewasaan fikiran dan peneguhan tindakan menyangkut sejarah, itulah pengertian kita tentang ideologi. Dengan ideologi, kita mengambil sikap. Kepada kemanusiaan, kita memihak. Diulang dalam pengertian biasa, yang kita katakan HANYALAH pemihakan kepada kemanusiaan bahkan sejak dari tingkat gagasan.
 
Pertumbuhan pesat rasionalisasi atas dunia dan relasi-relasi sejarah yang berlangsung di dalamnya, saat ini, telah mencapai titik di mana ternyata masyarakat Indonesia masih butuh perjalanan panjang menyusun perjuangan menemukan kemanusiaan. Hubungan yang —dengan pertumbuhan pesat rasionalitas itu— berhasil disederhanakan antara manusia dengan kebenaran, sejauh ingatan yang masih bisa kita kenali, justru menjerumuskan manusia dalam sejarah yang seakan tidak memberi kemungkinan untuk pembangkaian masyarakat Indonesia berhenti sejak zaman culturstelsel Belanda sampai ideestelsel Orde Baru, mulai praktek monopoli VOC di masa lalu sampai kebijakan mau menang sendiri negara-negara industri maju.
 
Bagi kita, dengan pengalaman serta ingatan yang mungkin masih terlalu pendek atau bahkan sepele bin(ti) remeh temeh, pembangkaian itu tidak lagi boleh terjadi. Semua manusia berhak DIADILI dengan hidup yang memberinya kesanggupan sama rata dengan manusia lain baik secara ekonomi maupun politik. Setiap manusia wajib DIADILI dengan hidup yang memperjuangkan kesederajatan kebudayaan. Tidak ada manusia yang lebih manusia dibanding manusia lainnya.
 
Kondisi tidak manusiawi yang dialami segolongan manusia yang darinya segolongan manusia lain mendapatkan kondisi yang lebih manusiawi nyatalah bukan keadaan alamiah yang terjadi begitu saja dari kehendak tangan-tangan gaib yang menguasai masa lalu dan masa depan dunia.
 
Kalau kita tertindas dan kemudian menyadari betapa hidup ekonomi politik kita sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat kemanusiawian, pertanyaan pertama kita bukanlah apa agama yang kita imani di masa lalu atau ideologi apa yang akan kita anut di masa depan. Pertanyaan utama bagi kita, DI MANA dan APA YANG KITA LAKUKAN —dengan ideologi dan pranata keimanan yang kita yakini itu— ketika sebuah proses penindasan terjadi? Sangat bisa jadi, bukannya menyatakan sikap dengan ideologi atau keimanan yang kita miliki, diam-diam kita malah merubah perlakuan terhadap ideologi atau keimanan kita sendiri untuk kemudian —sadar dan tidak sadar— terlibat sebagai bagian tak terlepas dari penindasan. Di sinilah, kita tidak dapat melupakan yang dipercayai Karl Marx bahwa lingkungan cara produksi dapat merubah lingkar fikiran suatu masyarakat, termasuk cara pandang masyarakat terhadap dirinya sendiri.
 
Yang kita tuju tentu bukan memaksudkan sejarah sebagai sebuah legitimasi untuk “menguasai keadaan” baik di saat ini maupun di masa datang. Penindasan itu ibarat pabrik: produknya adalah sejarah yang dihasilkan sebagai proses pembentukan ingatan masyarakat tertindas sebagai bahan baku sekaligus konsumennya. Menemukan kembali ingatan masyarakat Indonesia yang terlipat relasi ekonomi politik tidak adil, hanya itu cita-cita yang mengharuskan kita berbicara tentang ideologi; tentang sejarah dan pencerahan-pengkayaan kesadaran; tentang revolusi.
 
Perkara kita menyangkut kemanusiaan berawal dari asal-usul obyektif susunan masyarakat Indonesia yang hanya dapat dilihat pada sejarah sebagai remah-remah yang tersisa dari pesta jamuan penindasan di mana rakyat Indonesia diterima sebagai subyek sejarah dan lebih luas lagi —menjadi bagian perjalanan kebudayaan dunia— karena memang ada rombongan kolonial dan para petualang imperialis menemukan tanah dan air di mana rakyat Indonesia hidup dan menghidupkan kebudayaan, menyelenggarakan identitas kesadaran. Hal mutakhir dari kenyataan ini dapat terlihat dari Indonesia sebagai entitas-kebangsaan yang susunan sejarahnya tak lebih tidak kurang dari keadaan yang beberapa hari lalu dianjurkan penindas terbaik di seluruh dunia: Soeharto, yang menduduki peringkat lebih ulung di atas Adolf Hitler.
 
Masih soal jamuan: ia mustahil terselenggara dengan penuh kegembiraan tanpa golongan pribumi kaya dan berkuasa yang terus menerus menipu rakyatnya demi bertambahnya kekayaan dan langgengnya kekuasaan. Dengan tipuan itu, rakyat Indonesia dikeringkan sampai hanya sebagai batang-batang yang kurus kering, miskin dan bodoh, untuk dimasukkan kedalam tungku yang diatasnya gulai kesejahteraan alamiah Indonesia dimasak dan dibikin senantiasa hangat sehingga tidak pernah ada penindas atau penghisap yang kecewa.
 
Tipuan itu beroperasi melalui mitos-mitos palsu (!) yang tidak bisa sedikitpun memberi inspirasi bagi rakyat menemukan hak atau kedaulatan sejarahnya, melalui akrobat kebenaran yang menyelubungi nafsu telanjang kekuasaan ekonomi politik segolongan kecil pewaris kekuasaan dewa-dewa, melalui pengetahuan semu yang ditiup-tiup sebagai bius kesadaran oleh mereka yang mengaku telah maju fikirannya.
 
Dengan mitos dan pengetahuan semu, rakyat dijauhkan dari alam fikiran rasionalnya; kesadaran rakyat diusir dari kenyataan sejarahnya sendiri. Pembebasan Besar hanya dapat dimulai dengan mengakhiri pengungsian panjang rakyat Indonesia dari dunia sadar alam rasionalnya. Sudah bukan waktunya kesadaran rakyat Indonesia membiarkan dirinya bungkuk karena pembodohan dan pemiskinan. Bangkitlah, Indonesia; bangunkan jiwa merdekamu karena dalam kemerdekaan yang kau biarkan tidur itulah, musuh-musuhmu, para penindasmu, menemukan tempat terbaik untuk menjalankan mesin ekonomi politik pemiskinan sampai kamu bodoh, menyelenggarakan pembodohan yang telah membuat kamu semua miskin.
 
Percayalah pada akal budi yang akan menuntun kita menemukan kembali hak serta kedaulatan sejarah yang dengannya kita dapat mengenali asal-usul penindasan, yang dengannya kita akan segera kerjakan pembebasan. (Benar!) PEMBEBASAN HARUS DIKERJAKAN, karena ia bukanlah harapan atau utopia di saat kita menyadari atau mengalami penindasan-penghisapan; ia adalah tindakan sadar di lapangan ekonomi dan politik berdasarkan pemahaman obyektif atas sejarah masyarakat dan mekanisme sosial yang melahirkan penindasan.
Partisipasi politik yang terbuka dan mengambil bentuk pada Pemilu multipartai pertama sekejatuhan Soeharto hanyalah bagian artifisal sejarah. Tanpa validasi bertanggungjawab atas ideologi, liberalisasi itu lebih menyerupai gambaran MASYARAKAT TANPA PRINSIP yang menghamba pada kesemuan. Diperparah dengan citra mediatik di mana ruang tersebut tergambar, derajat ketidakbermaknaan ruang-ruang tersebut bagi bangunan sejarah manusia Indonesia makin menjadi-jadi.
 
Saat ini, kita berada di titik paling krusial dalam sejarah Indonesia. Hanya tersisa dua kemungkinan bagi perjuangan dan cita-cita kerakyatan: MAJU ATAU HILANG UNTUK SELAMANYA.
Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat. Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan.
 
Pendek kata, sejarah harus dikembalikan pada esensi jiwa sosial di mana perubahan terjadi sebagai hal ALAMIAH DARI MASYARAKAT yang diharuskan (! oleh penindasan-penghisapan) untuk membebaskan diri. Buku suci perubahan adalah logika sosial yang terbentuk dari bukan hanya satu, dua, atau tiga kelas sosial, tapi JUGA dari semesta kesadaran yang mengendap-mendasari relasi sosial antar kelas dalam masyarakat. Historisitas-otentisitas perubahan, kesejatian revolusi, hanya mungkin diawali dari perlawanan atas penindasan-penghisapan otentik-historis yang terjadi dalam setiap fase di setiap tempat hidup masyarakat.
Ambruknya penindasan otentik-historis tidak bisa diukur hanya dari runtuhnya bangunan operasional penindasan. Revolusioner sejati adalah mereka yang percaya pada kedaulatan kelas tertindas dalam memperjuangkan kesadarannya sendiri baik sebagai manusia maupun sebagai masyarakat. Dengan kedaulatan inilah, kelas tertindas mentransformasi diri sebagai kekuatan aktif dalam setiap proses sejarah.
 
Salah satu otentifikasi historis yang dapat dikemukakan di sini adalah konsepsi Karl Marx perihal materialisme historis —berkembang pada Lenin melalui Engels sebagai materialisme dialektis— sebagai penentu sejarah perkembangan masyarakat yang merupakan prestasi Marx setelah mengkritik Hegel sebagai “berjalan dengan kepala, berfikir menggunakan kaki” karena prinsip-prinsip idealismenya. Dari model Marxian-Engelsian ini kita dapat mengajukan pertanyaan: bagaimana dengan rakyat tertindas bangsa terjajah yang secara nyata —karena eksploitasi super intensif Kapitalisme dan bukan karena Hegellianisme menggebu pun juga bukan karena Kepasrahan-Kosmologis-Perennial— telah NYUNGSANG NJEMPALIK (maaf, bhs. Jawa, artinya: diputar balik nasibnya secara paksa sehingga) harus menggunakan kepala untuk berjalan dan menggunakan kaki untuk berfikir.
 
Bercermin pada ‘Buruh Seluruh Dunia Bersatulah!’ kita juga perlu jelas melihat model pembagian kerja ekonomi politik yang menjadi ruang di mana Rakyat Indonesia dilibatkan dalam pengertian komodifikasi tenaga-kerja sebagaimana dimaksudkan Marx dan Engels. Untuk memastikan kelas revolusioner di Indonesia, kita perlu melihat mekanisme industrial —archetype gagasan Marx-Engels— yang berlaku di Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang.
 
Sebagai obyektifitas ekonomi politik penindasan, siapa atau apakah yang terindas-terhisap hukum produksi kapital? Buruh, tani, tanah dan air, atau bahkan kesadaran sejarah masyarakat Indonesia juga telah terhisap sampai kering oleh penindasan ekonomi politik imperialisme-kolonialisme yang telah dengan sukses memanipulir sejarah Indonesia semata-mata sebagai KESADARAN MASYARAKAT TEMUAN?
 
Satu kritik awal perlu kita nyatakan menyangkut kesibukan ideolog modern meributkan gagasan perubah dunia sampai mereka lupa pada sejarah yang telah lama merubah dunia gagasan mereka. Dari kritik ini, Front Perjuangan Pemuda Indonesia memandang bahwa Ketidakadilan Diskursif yang menjadi STRUKTUR ATAS dari setiap periode penindasan yang dialami rakyat Indonesia juga harus diperjuangkan untuk dibongkar.
 
Ketidakadilan Diskursif bukan sebuah terminologi tentang ketidakadilan dan perjuangan membangun keadilan an sich sebagai realitas dunia gagasan. Ia adalah penekanan kita pada proses penghisapan ekonomi politik —baik dalam strateginya memenangkan kelas penindas maupun sebagai akibat penindasan berkelanjutan— yang mempengaruhi kesadaran historis kelas tertindas. 
Dari penekanan ini, kita bisa mengupayakan sistem gagasan yang dapat melangkahi setiap kebutuhan perjuangan.
 
Dasar sikap dan sikap dasar Front Perjuangan Pemuda Indonesia, yang yakin bahwa klaim kematian ideologi sekalipun bukan alasan yang MASUK AKAL dan SESUAI BUDI untuk menghentikan perjuangan, adalah kepercayaan pada mentalitas pembebasan sebagai proses dialektis manusia dengan sejarahnya, masyarakat dan keharusan-keharusan ekonomi politiknya.
 
Pemulihan ideologi masyarakat yang hanya mungkin dilalui dengan pengorganisiran seluruh kekuatan ekonomi politik rakyat merupakan langkah perjuangan yang harus kita sadari selekas dan setuntas-tuntasnya. Dengan berpegang teguh pada garis massa, program maksimum pergerakan, saat ini, adalah mengutuhkan kedaulatan rakyat atas tanah, air dan udara sebagai kekuatan produktif masyarakat Indonesia.

Dari TEORI NILAI LEBIH-nya Karl Marx, Kapitalisme internasional telah “belajar” meneguhkan supremasi kolonialis-imperialistiknya di negara-negara dunia ketiga melalui apa yang dapat kita sebut sebagai NILAI LEBIH TEORI: sentuhan teknologis negara-negara industri maju atas sumber daya alam Indonesia, misalnya, menjadi keajaiban yang dengan keajaiban itu Rakyat Indonesia diawet-bekukankan dalam keterasingan dari nilai produktif tanah dan air negerinya sebagai lingkungan material dari kebudayaanya.
Mari kita lihat kronologi berikut ini.

Menguatnya desakan gerakan pro-lingkungan di beberapa negara industri maju dan kemampuan adaptatif yang dimiliki sistem produksi kapitalis akan memaksa titik-titik pusat Kapitalisme, yang sejak periode dekolonisasi 1945-1965 telah terpencar menjadi raksasa-raksasa gagah Multi National Corporation, untuk mencari dan menemukan formula penyelamatan dengan mengembangkan sistem produksi ramah lingkungan. Mahalnya tehnologi pengolahan limbah –-dalam kasus atau sektor industri tertentu, ia membutuhkan investasi yang bahkan lebih besar dibanding biaya total produksi— masih menjadi masalah bagi keperluan perkembangan kapitalisme industrial masa depan.
 
Andaian kita, beberapa wilayah Gunung Berapi di Indonesia pernah memuntahkan lava. Praksis dan teoritis, kita terima bahwa di manapun, kesuburan tanah lahan pertanian pasca letusan mengalami peningkatan, lebih tepat disebut peremajaan, dibanding sebelum letusan. Pandangan konvensional mengatakan bahwa peremajaan itu terjadi karena muntahan letusan adalah tanah baru yang menutup lapisan tanah lama dan degradasi kesuburan yang dialaminya selama proses pertanian tradisional maupun modern.
 
Akan tetapi, dengan asumsi bahwa pandangan konvensional itu tidak sepenuhnya benar mengingat bahwa pembentukan lava terjadi melalui proses geo-vulkanik yang panjang; kita kemudian harus terima bahwa peremajaan tersebut terjadi karena memang muntahan gunung berapi mengandung mineral alami —dikenal dengan sebutan Zeolith— yang memiliki daya serap tinggi terhadap ion-ion yang tersisa —dalam kasus pertanian— dari pestisida dan bahan kimia lainnya.
 
Di masa mendatang, “sentuhan” tehnologi atas zeolith akan memungkinkan diciptakannya sistem pengolahan limbah dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding yang saat ini beredar di pasaran internasional. Tanpa maksud berlebihan, tehnologi berbasis mineral alami inilah yang akan menjadi salah satu tumpuan sistem produksi kapitalisme. Saat ini, walaupun memiliki sumber-sumber yang cukup untuk dieksploitir, Jepang memenuhi seluruh “kebutuhan” zeolith-nya dari Indonesia. Sudah hukum sejak awal, pada waktunya nanti, pengusaha Indonesia harus membeli sistem pengolah limbah berbasis zeolith dengan harga yang jauh lebih mahal dibanding harga atau nilai ekspor yang diterima Indonesia sekarang.
 
Itu adalah contoh. Hanya satu contoh betapa akibat pembodohan selama ini rakyat Indonesia bahkan sudah harus menanggung kemiskinan sampai sekian generasi yang akan datang. Mengingat, bahwa, sampai saat ini, industri utama Indonesia adalah industri orientasi ekspor dan bukan substitusi impor, kecil kemungkinan penutupan biaya pertambahan nilai impor tehnologi dengan menaikkan harga barang hasil produksi; kalau di masa Orde Baru, upah buruh harus dipotong untuk biaya siluman pengisi laci-laci birokrasi, kapitalisme liberal yang menjadi skenario lanjutan dari negara-negara industri maju saat ini akan terus mencari cara untuk menutup biaya pengganti nilai impor tehnologi dengan menekan upah buruh di Indonesia serendah-rendahnya.
 
Yang jelas, skenario lanjutan dari pembagian kerja ekonomi internasional yang diturunkan dari kesepakatan antar negara-negara industri maju merupakan medan di mana pergerakan Rakyat Indonesia dan umumnya Pergerakan Rakyat Negara-negara Dunia Ketiga harus mempersiapkan diri berhadapan secara langsung dengan komersialisasi lebih lanjut kebudayaan masyarakat —manusia sebagai tenaga kerja dan sumber alam— pinggiran, untuk menjamin kondisi selalu pulih dan mulia dari masyarakat-masyarakat pusat di negara-negara industri maju.

UNTUK mengarahkan seluruh tenaga dan kerja pergerakan bagi sepenuh-penuhnya kesadaran dan sekuat-kuatnya organisasi massa di semua sektor strategis masyarakat Indonesia dibutuhkan organisasi dan kader-kader perjuangan dengan daya jelajah teoritis dan praksis yang memungkinkan rakyat memperdengarkan SUARA PERLAWANAN melalui TINDAKAN pergerakan di jantung ekonomi politik yang mendenyutkan nadi penindasan.
 
Front Perjuangan Pemuda Indonesia didirikan sebagai satuan kesadaran dan tindakan memilitankan pengorganisiran tak kenal ampun sebagai langkah intensif dan efektif menyusun martabat ekonomi politik Rakyat Indonesia menuju kehidupan nasional yang demokratis dan berkedaulatan.
MENDIDIK RAKYAT DENGAN PERGERAKAN, MENDIDIK PENGUASA DENGAN PERLAWANAN.

Diumumkan di Jakarta, 5 Juli 2000 oleh Dewan Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI).