Selasa, 8 Juni 2010 | 03:05 WIB
Hermas E Prabowo
Ahmad Nursalim (52) baru saja rugi lebih dari Rp 70 juta. Tiga kali berturut-turut, tanaman bawang merahnya gagal panen. Modal usaha dan tabungan pun ludes, tetapi ia tidak menyerah.
Nursalim bahkan sudah berketetapan hati untuk kembali menanam bawang merah apabila kelak sudah memiliki modal lagi. ”Sekarang lagi ngumpulin (modal) dulu,” katanya pada akhir Mei lalu.
Bagi Nursalim, warga Desa Klampok, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, jatuh-bangun bagi petani bawang itu hal biasa. Apabila iklim sedang bagus dan pengelolaan tanaman baik, untung bisa didapat. Hal sebaliknya juga bisa terjadi, seperti yang dialami bapak tiga anak ini ketika pada Juni 2009 menanam bawang di lahan seluas 0,75 bahu (satu bahu sekitar 6.000 meter persegi).
Meski iklim saat itu bagus, ia gagal panen akibat tanaman bawangnya ditangani pekerja yang tidak jujur. ”Seharusnya disemprot, tidak disemprot. Ya, habis dimakan hama,” kata Nursalim.
Musim tanam berikutnya, September 2009, ia menanam bawang lagi seluas 0,5 bahu. Lagi-lagi ia belum beruntung. Hujan saat itu tak kunjung datang akibat kemarau yang lebih lama. Tanaman bawang merahnya kurang air. Ia mencoba menyelamatkan tanamannya dengan membuat sumur pantek, tetapi sumber airnya terbatas dan tidak cukup untuk mengairi tanaman bawangnya agar bisa tumbuh sempurna. Pada saat panen, bawang merahnya kecil-kecil dan hanya laku ditebas Rp 5 juta.
Dua kali gagal tak membuat Nursalim patah arang. Pada Januari 2010, ia kembali menanam bawang merah seluas 0,75 bahu. Waktu itu air melimpah. Harapan pun ikut disemai.
Namun, prediksinya meleset. Hingga Maret, hujan masih turun dengan lebatnya. Tanaman bawangnya pun rusak. Daun-daun bawang pecah lalu roboh. Nursalim kembali gagal panen.
”Dari tiga kali panen itu, saya hanya dapat uang Rp 13 juta. Modal usahanya sampai Rp 70 juta lebih,” katanya. Padahal, dengan modal sebesar itu, Nursalim mestinya bisa meraup untung ratusan juta rupiah.
Tahan banting
Hidup sebagai petani bawang memang harus tahan banting. Apalagi, ketika iklim makin tak bersahabat seperti sekarang. ”Tidak ada pilihan buat kami kecuali harus menanam. Ya, bergantung nasib saja,” katanya.
Bagi petani bawang merah, kegagalan adalah soal biasa. Paling tidak, itu yang diyakini Nursalim. Di sini, keuletan sebagai petani ditantang. Bagaimanapun, ia harus bangkit dan kembali bekerja keras untuk membangun harapan baru.
Dulu pun begitu. Saat mengawali kehidupan berumah tangga, tahun 1980-an, Nursalim tak punya apa-apa. Sawah pun tak ada. Padahal, satu-satunya keahliannya adalah mencangkul.
Hanya bermodalkan cangkul, Nursalim muda tak sungkan jadi kuli di sawah orang. Dari upah menjadi buruh mencangkul itu, Nursalim berhasil menabung. Modal yang ia kumpulkan kemudian dipakai berdagang sayur kangkung. Ternyata keuntungan dari berjualan kangkung lebih baik daripada menjadi buruh mencangkul. Istrinya juga tak tinggal diam dan dengan sigap membantu berjualan sayur di Pasar Klampok.
Bahu-membahu mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, tahun 1985, Nursalim memberanikan diri menyewa sawah untuk ditanami kangkung. Hasilnya lumayan. Saat itu sewa lahan Rp 200.000 per bahu.
Usahanya berkembang. Ia mulai bisa membeli sawah sendiri. Karena lahan garapannya makin luas—ada sawah sendiri dan sawah sewa—pendapatan pun bertambah. Apalagi setelah dia memiliki modal usaha cukup untuk menanam bawang merah. Karena hasil panen bagus, pendapatan dari hasil bawang merah dia belikan tanah lagi.
Usaha pertanian bawang memang penuh risiko. Sejak dulu, Nursalim menyadari sepenuhnya. Karena itu, ia tak bertumpu pada satu usaha dan mulai melakukan semacam diversifikasi usaha.
Kebetulan, tahun 1998, ada tetangganya yang mau jual traktor 15 PK. Tanpa pikir panjang, ia jual sawahnya seluas 0,25 bahu. Uang hasil penjualan sawah itu ia belikan traktor. Perhitungan Nursalim tidak meleset. Pada saat musim olah lahan, traktornya disewa banyak orang dan mendatangkan penghasilan hingga Rp 6 juta sebulan.
Tak hanya menyewakan traktor, ia juga menanam kangkung. Lahan sebahu miliknya dia tanami kangkung dengan sistem klaster. Hasilnya, tiap hari dia bisa memanen kangkung. ”Lumayan ada tambahan pendapatan Rp 50.000 per hari,” katanya.
Kangkung yang dipetik tiap hari itu dibawa istrinya ke pasar. Dengan adanya kangkung, Nursalim tidak perlu bingung memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sementara itu, hasil jerih payah istrinya berjualan sayuran di pasar bisa ditabung.
Dalam hal budidaya, Nursalim juga melakukan diversifikasi. Lahan 2,5 hektar miliknya, yang dia beli secara bertahap selama lebih dari 20 tahun, dia tanami aneka tanaman. Sebagian kangkung, cabe, padi, dan yang lainnya bawang merah.
Meski variasi usaha dilakukan, peluang yang paling menjanjikan bagi Nursalim adalah budidaya bawang merah. Modalnya memang besar, tetapi bila berhasil keuntungannya pun tidak sedikit. Selain bisa menabung, ia juga membeli sawah baru.
Tak jarang untuk memenuhi hasratnya menanam bawang merah, Nursalim berburu lahan di luar Brebes. ”Pernah sampai Banyumas,” katanya.
Bagi petani bawang, tantangan menanam bawang saat ini lebih kompleks, terutama setelah terasa dampak perubahan iklim global. Kesulitan utama yang mereka alami adalah ketidakmampuan memprediksi iklim. Di sisi lain, pemerintah kerap tidak menyediakan akses informasi iklim yang memadai. Akibatnya, petani kewalahan menghadapi iklim yang liar.
Pada musim hujan, kadang masih kemarau. Sebaliknya, saatnya kemarau, hujan masih terjadi. Karena tak ada akses informasi soal perkiraan iklim yang tepat, petani pun jadi gemar berspekulasi. ”Kegemaran” baru ini tak jarang berakibat fatal, seperti yang dialami Nursalim.
Nursalim adalah petani ulet. Selama ini, tanpa kehadiran pemerintah di sisinya pun, dia membuktikan bisa bangkit membangun kehidupannya.
Namun, jika situasi ini terus berlanjut, dan petani ulet seperti Nursalim dibiarkan terus bertarung sendiri melawan ganasnya perubahan iklim, entah berapa tahun lagi mereka bisa bertahan. Kegagalan Nursalim adalah juga kegagalan petani-petani lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar