Selasa, 08 Juni 2010

PERTAHANKAN REPUBLIK MELALUI PERJUANGAN REFORMA AGRARIA

PERTAHANKAN REPUBLIK
MELALUI PERJUANGAN REFORMA AGRARIA


Pendahuluan
Membangun kemerdekaan nasional yang kedua yang sempat menjadi slogan aksi FPPI pada perayaan HUT RI ke 62th yang lalu. Sesungguhnya merupakan refleksi panjang bahwasanya pengakuan kedaulatan atas kemerdekaan RI hingga saat ini tidak pernah memberikan jaminan atas atas perlindungan dan pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia atas tanah airnya sendiri. Bahwa sesungguhnya kekayaan agraria bangsa Indonesia itu meliputi seluruh tanah, air, udara, bumi, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai harta kekayaan nasional yang harus dipelihara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia itu sendiri.
Maka membangun reforma agraria yang sejati merupakan keharusan mutlak yang harus dilakukan para pemangku mandat negeri ini untuk memastikan bahwa kekayaan nasional tersebut dapat dipelihara, dimanfaatkan dan didaulat penuh oleh rakyat Indonesia. Dan dalam pengertian yang sama, maka tugas pergerakan hari ini adalah seberapa jauh mampu mendiseminasikan gagasan besar perubahan NDK ke dalam setiap relung-relung dalam alam sadar kesadaran ekonomi politik rakyat Indonesia sehingga mampu mendorong tindakan-tindakan langsung yang lahir dari rahim fikiran bertindak yang membebaskan.

Ketidakadilan Struktur Agraria di Indonesia
            Negara Indonesia adalah negara agraris, penduduk yang berjumlah lebih kurang 220 juta, dimana hampir 70% dari warga negaranya masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.  Ironisnya, semenjak kolonialisme sampai hari ini mayoritas masyarakat petani justru merupakan kelas yang selalui dihantui dengan kemiskinan serta kecurangan produksi. Artinya, dari dulu hingga sekarang masih terdapat ketimpangan struktur penguasaan atas alat produksi (sumber-sumber agraria) sehingga terjadinya eksploitasi untuk meningkatkan kemapanan kepentingan sekelompok orang saja. Kemunculan banyaknya petani tanpa tanah atau buruh tani (kepemilikan lahan rata-rata 0,5 ha), dan semaraknya sengketa tanah antara pemerintah ataupun perkebunan (pemodal) yang kerap diwarnai dengan tindakan kekerasan serta kriminalisasi terhadap perjuangan petani,  serta belum lagi banyaknya pengalihan lahan-lahan pertanian yang subur serta dikuasainya sumber-sumber agraria oleh pemodal secara legal karena dilegitimasi melalui kebijakan negara telah menjadi sederetan bukti bahwasanya kedaulatan kaum tani Indonesia baik secara sosial, ekonomi, budaya dan politik masih  tergadai oleh para Pengusaha dan Penguasa yang selalu saja mengatasnamakan pembangunan semata
Perselingkuhan sesat yang terbentuk dari untaian rantai penghisapan oleh kekuatan sisa-sisa feodal, birokrat pemerintahan komperador, maupun kekuatan modal asing (Imperialis) telah menyebabkan kehidupan kaum tani Indonesia dari hari ke hari semakin terpuruk dan miskin. Dari persoalan hubungan produksi yang tidak adil, timpangnya penguasaan/ kepemilikan atas alat produksi (tanah dan air) yang dimonopoli oleh tuan-tuan tanah, ditambah lagi dengan adanya praktek-praktek parasit seperti; lintah darat, ijon, tengkulak, dst serta belum lagi peranan kapitalis birokrat yang bersekutu dengan kekuatan anti rakyat yang  justru ikut menindas dengan menyalahgunakan jabatan/kekuasaan untuk memperkaya diri telah menjadi skenario panjang penindasan kaum tani di Indonesia yang sering dimainkan di negri semenjak penjajahan kolonialisme bercokol di negeri ini.
Seharusnya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pada hakekatnya adalah untuk membebaskan rakyat dari imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme. Hal ini bermakna tidak hanya kemerdekaan politik semata-mata tetapi juga kedaulatan ekonomi, sosial dan budaya bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya itu untuk merombak ketidakadilan struktural warisan kolonialisme dan feodalisme sebagai landasan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Upaya tersebut pernah dilakukan pada masa lalu dengan diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA 1960) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil tahun 1960 (UUPBH 1960) yang bersendikan pada pasal 33 UUD 1945 (naskah asli). Namun, kemunculan Orde Baru dengan kebijakan pembangunan yang kapitalistik telah menghentikan upaya untuk mencapai cita-cita luhur tersebut. Dan sekarang, era reformasi yang lahir di tengah-tengah globalisasi sistem ekonomi pasar, telah menyebabkan semakin tertutupnya peluang untuk melakukan upaya-upaya luhur yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa Indonesia.

Kapitalisasi Kebijakan Agraria Indonesia
 Perampasan tanah rakyat petani yang berlangsung sejak jaman kolonialisme, mengakibatkan hilangnya hak petani atas tanahnya dan perubahan fungsi dari tanah itu sendiri. Dari tanah untuk penggarap (memenuhi kebutuhan local) menjadi tanah untuk komoditas pasar internasional (landed capitalist property) (Gunawan :2004). Berangkat dari system sewa, konsepsi atas Domein Theory, tanam paksa / cultuurstelsel sampai revolusi agraria, menandakan sejarah atas perampasan tanah rakyat telah berlangsung begitu lama. Di satu sisi pembuatan atas Undang-Undang Pokok Agraria yang diharapkan mampu memberikan angin segar atas sekian konflik agraria ternyata di tingkatan pelaksanaannya tidak berjalan sesuai sebagaimana mestinya.      
Semangat juang reformasi 1998 yang berhasil menggugah kesadaran para petani untuk menuntut hak-haknya yang terampas, mengakibatkan aksi massa dari petanipun semakin tinggi skalanya dan luas jangkauannya. Sehingga mendorong dikeluarkannya TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mengamanatkan perlunya reforma agraria yang salah satu jalannya adalah meninjau kembali perundangan agraria.
Tap MPR Nomer IX Tahun 1999 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang merekomendasikan perubahan produk-produk hukum agraria yang bertentangan dengan reforma agaria, ternyata berhadapan dengan realita menguatnya konsolidasi kekuasaan oligarki politik sebagai mesin dari kapitalisme birokratik rente yang juga merupakan modus operandi nasional dari kapitalisme internasional/neo-imperialisme, maka yang justru keluar adalah produk hukum agraria yang berwajah sektoral dan mengandung maksud privatisasi sehingga berdampak pada menguatnya akses modal untuk mengeksploitasi sumber-sumber agraria dan justru memperkecil akses rakyat. Misalnya Undang-Undang Nomer 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomer 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomer 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomer 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan Perpu Nomer I Tahun 2001 yang memberikan izin menambang di hutan lindung..
Pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomer 34 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, guna memberikan mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan penyempurnaan UUPA 1960. Tim yang dibentuk BPN untuk menjalankan mandat tersebut telah selesai dengan melahirkan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria.
Dalam beberapa kasus, menunjukan kuatnya intervensi (dominasi dan hegemoni) asing (modal internasional) terhadap pembuatan produk hukum agraria di Indonesia, yang itu sesungguhnya menunjukan bahwa negara Indonesia dalam situasi semi kolonial (setengah jajahan).
Undang-Undang Nomer 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air lahir akibat pada akhir tahun 1997 keluar rekomendasi Bank Dunia (World Bank) yang menyatakan bahwa bantuan dari Bank Dunia yang lebih jauh bagi sektor sumber daya air dan irigasi tidak lagi dimungkinkan kecuali dilakukan reformasi besar-besaran terhadap sektor ini. Dan kemudian pada bulan April 1998 diajukanlah progam restrukturisasi sektor air di Indonesia yang dikenal dengan   Water Resources Sector Adjustmen Loan (Watsal).
Keputusan Presiden Nomer 34 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan lahir dari proyek Bank Dunia yang bernama Land Adminitration Project (Proyek Adminitrasi Tanah). Dalam pengamatan Indra Lubis (2003), tahap pertama dari proyek tersebut berlangsung dari tahun 1995 hingga tahun 2000 dengan tujuan untuk membentuk pasar-pasar tanah yang efisien dan bijaksana dan mengurangi konflik-konflik sosial atas tanah melalui percepatan pendaftaran tanah. Tahap kedua proyek tersebut dimulai tahun 2001 dengan periode tidak sampai enam tahun, dan pada awal tahun 2004, pemerintah Indonesia dan Bank Dunia telah menyiapkan progam lanjutan yang diberi nama Proyek Pembaruan Kebijakan Pengelolaan Pertanahan (Land Policy Management Reform progam). Akhirnya Rancangan Undang-Undang Sumberdaya Agraria, yang dipopulerkan sebagai upaya penyempurnaan UUPA 1960, malah membongkar sama sekali UUPA 1960. UUPA 1960 tidak dievaluasi, tetapi diakhir rancangan disebutkan bahwa berlakunya rancangan undang-undang ini sebagai undang-undang akan menggantikan UUPA 1960.  Konsep landreform versi World Bank ini yang kemudian dikenal sebagai  Negotiated Land Reform, yang telah dipraktekan di beberapa negara dan mendapatkan kritikan dan perlawanan dari gerakan sosial masyarakat sipil.
Terakhir Infrastructur Summit 2005 telah melahirkan Perpres 36/2005 akan menjadi ancaman terbesar baru bagi penggusuran dan perampasan tanah rakyat.
Dari uculnya sekian banyak kebijakan agraria yang tidak berpihak kepada keadilan agraria, sesungguhnya, rakyat Indonesia telah memberikan perlawanan-perlawanan terhadap produk-produk hukum agraria Indonesia dengan aksi penolakan, tetapi pemerintah Indonesia sama sekali tidak peduli dengan tuntutan rakyat, bahkan ketika UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air belum diputus oleh Mahkamah Konstitusi karena ada judicial review dari masyarakat, pemerintah telah menjual air dalam Infrastructure Summit 2005. Bahkan Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Perkebunan telah dipergunakan untuk mengkriminalkan aksi-aksi para petani penggarap.
Demikian juga yang terjadi dalam kasus Perpres 36/2005, meski telah muncul penolakan dari masyarakat dan DPR, dan bahkan ketika argumen pemerintah tentang Perpres 36/2005 bisa dikritisi oleh elemen-elemen kritis masyarakat, pemerintah tetap meneruskan proyek-proyek yang akan dilindungi dengan Perpres 36/2005 dan kemudian pada perjalanannya perpres tersebut direvisi kembali dengan kemunculan  Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sekalipiun kemunculan perpres ini sebagai akibat desakan gerakan reforma agraria namun tetap saja isinya masih represif dan tetap berorientasi pada kepenitngan investor. Kekerasan kebijakan berikutnya terjadi ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Perpres ini meletakkan lembaga BPN langsung di bawah dan bertanggungjawab langsung pada presiden. Kewenangan lembaga ini juga diperluas, sektoral, regional dan nasional. Dalam Perpres ini, strukturnya BPN juga mengalami perubahan dengan menambah kedeputian baru yakni Deputi penyelesaian konflik, sengketa dan perkara agraria dan Komite Pertanahan yang ke depannya diisi oleh pakar agraria dan tokoh masyarakat. Dari sisi fungsi juga semakin jelas bahwa BPN berfungsi menjalankan reforma agraria. Artinya Perpres No.10/2006 menjadi peluang sekaligus tantangan bagi para pelaku dan pendukung reforma agraria.

Keniscayaan Perjuangan Reforma Agraria
            Struktur konflik agraria yang meliputi soal penguasaan tanah, produksi-distribusi, dan artikulasi cara-cara produksi, mensyarakatkan bahwa reforma agraria tidaklah semata dilakukan perubahan atas struktur kepemilikan tanah (landreform) tetapi juga dalam pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam serta dalam mengatasi kontradiksi antara industri, modal, dan perdagangan dengan pertanian serta antara pengembangan kota dan desa.
            Indonesia sesungguhnya telah secara legal formal meletakan prinsip-prinsip reforma agraria, yaitu seperti yang tertuang dalam UUPA 1960, maka adalah tepat untuk mengembalikan UUPA 1960 sebagai payung hukum agraria di Indonesia. Bahwa UUPA 1960 itu sendiri juga memiliki kelemahan, hal itu bisa diamandemen, bukannya justru membongkarnya sama sekali dan menerbitkan produk hukum sektoral. Disisi lain UUPA 1960 dibuat dalam kurun waktu yang sangat panjang (hampir 11 tahun) dan melibatkan partisipasi yang meluas dari serikat-serikat petani. Hal ini tentu jauh berbeda dengan pelbagai produk hukum agraria Indonesia kontemporer, yang terlalu terburu dan tanpa partisipasi yang meluas.
Selain itu, langkah hukum lain yang bisa dilakukan untuk memperkuat hukum agraria Indonesia adalah dengan meratifikasi perjanjian internasional, atau mekanisme di PBB (UN Mechanism), misalnya untuk perlindungan tanah adat.
PBB sendiri, dalam laporan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB (, A/57/356/27 August 2002), Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights)  dalam resolusi 2000/10 tanggal 17 April 2000 dan resolusi 2001/25 tanggal 20 April 2001 telah membentuk Special Rappoteur on the right to food, yang mana Special Rappoteur percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Special Rappoteur juga menyebutkan, reforma agraria harus secara serius dijadikan intrumen kebijakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Reforma agaria juga akan mendorong transformasi yang sesungguhnya dan perubahan reditribusi yang bukan hanya tanah, tetapi juga meliputi elemen-elemen penting yang mengakibatkan reforma agraria dapat berjalan, termasuk akses kepada air, kredit, transport, pelayanan-pelayanan tambahan dan infrastruktur lainnya.
Kembali ke konteks Indonesia, selain dalam rangka resolusi konflik bagi konflik tanah, reforma agraria jelas dibutuhkan bagi upaya menciptakan ketahanan pangan, menumbuhkan perekonomian di pedesaan, dan penciptaan lapangan kerja. Wabah busung lapar dan wabah penyakit, serta naiknya angka bunuh diri pelajar yang tidak mampu membayar biaya pendidikan adalah cerminan betapa hancurnya perekonomian masyarakat.
Penyebabnya adalah ketika terjadi kontradiksi antara negara, investor (modal), dan intelektual dengan masyarakat, khususnya kaum petani serta antara kota dan desa. Perluasan industrialisasi, investasi dan perdagangan berdampak pada semakin bertambah sempitnya lahan pertanian –pertanian organik yang rusak karena pertanian harus memakai produk industri (pupuk dan pestisida kimia) mengakibatkan lemahnya produktifitas serta harga produksi pertanian rendah. Sementara itu barang konsumsi produk industri tinggi sehingga menguras penghasilan rendah petani. Kemiskinan petani yang massif berdampak turunnya penjualan barang produksi industri.
 Kontradiksi antara kota dengan desa (di desa minus kapital sedangkan  di kota surplus kapital), hal ini berdampak pada terasingnya petani dalam distribusi hasil pertanian, petani rela menjual rendah hasil pertanian kepada tukang ijon atau tengkulak karena minus kapital serta terjebak pada rentenir. Kemiskinan di desa dan tidak prospektifnya pertanian mengakibatkan urbanisasi di kota-kota dan bergerak di sektor-sektor informal. Lemahnya produktifitas pertanian menjadikan alasan bagi pemerintah untuk mengimport produk pertanian yang justru menjatuhkan harga produk pertanian; Surplus kapital di kota, mendorong perluasan kota dan terjadinya artikulasi cara-cara produksi, dimana sektor pertanian diganti dengan ruko atau perumahan. Jika artikulasi cara-cara produksi memunculkan industrialisasi, maka posisi kelas petani tetap jelas, yaitu menjadi buruh (kelas proletariat), tetapi jika pertanian dijadikan ruko, perumahan, lapangan golf, dan sebagainya maka yang muncul adalah masyarakat declasses (lumpan proletariat) yang fenomenanya dapat kita lihat dalam kaum miskin kota: Pedagang Kaki Lima (PKL), premanisme, dan sektor informal lainya. Tragisnya, pedagang kaki lima dan perkampungan kaum miskin kota akhir-akhir ini dibawah ancaman besar penggusuran.
Maka tanpa reforma agraria, secara politik demokrasi tidak akan tercapai akibat tidak imbangnya kekuatan ekonomi politik pemodal dengan rakyat. Dan secara ekonomi Indonesia akan semakin menjadi pengimpor produk pertanian, penguasaan lahan yang terpusat di beberapa kelompok modal, dan kemiskinan massif petani pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.Bahkan proletarisasi bangsa negara akan semakin menghebat, karena nilai lebih dan kerja lebih Indonesia yang berupa sumber-sumber agraria dan tenaga kerja yang melimpah akan disedot habis oleh kapitalisme internasional – neo imperialisme akibat tidak demokratisnya negara, karena negara lebih memihak kepada investor asing.
Maka dapat disimpulkan, bahwa keniscayaan atas perjuangan reforma agraria sama saja bermakna konsolidasi nasional demokrasi kerakyatan. Dimana proletarisasi negara bangsa serta marjinalisasi dan penghisapan sumber-sumber agrarian republic ini sudah harus disingkirkan dan menegaskan kembali kemerdekaan nasional kedua, dimana kedaulatan Negara diukur dari kedaulatan warga negaranya terhadap tanah, air, udara dan seluruh kekayaan yang dikandung oleh ibu pertiwi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar