Selasa, 08 Juni 2010

Mewaspadai Trik-trik Barat

Selasa, 8 Juni 2010 | 04:31 WIB
Pemanasan global sudah menjadi berita mendunia karena menyebabkan kerusakan lingkungan. Bencana ini mencuatkan seruan global soal pentingnya penurunan emisi gas buang, penyebab pemanasan. Akan tetapi, mengatakan tekanan begitu kuat pada negara berkembang, dengan iming-iming bantuan, agar bersedia mengurangi emisi gas buang?
Sekadar informasi, pada pertemuan puncak lingkungan hidup Desember tahun lalu, di Kopenhagen, Denmark, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan kesediaan mengurangi emisi gas buang 26 persen selama satu dekade ke depan. Lebih jauh, Indonesia menawarkan penurunan emisi hingga 41 persen jika ada bantuan memadai dari dunia internasional untuk penurunan emisi tersebut.
Ini tentu sebuah keteladanan Indonesia karena akan dinilai sebagai teladan dalam pengurangan emisi. Ini tentu merupakan tindakan terpuji.
Kanada, Australia, dan Jepang tergolong merupakan negara teladan yang menjanjikan penurunan emisi, yang jauh lebih besar dari janji Presiden AS Barack Obama, yang hanya bersedia menurunkan emisi 17 persen.
Indonesia bersedia menurunkan emisi, salah satunya berdasarkan dorongan skema bernama REDD singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau Pengurangan Emisi dengan Pencegahan Penggundulan dan Degradasi Hutan. REDD menawarkan bantuan kepada negara berkembang, selanjutnya akan berbentuk utang, dengan kesediaan penghutanan kembali, atau pencegahan penggundulan hutan.
Pada tahun 2007, Bank Dunia menyatakan Indonesia sebagai penyebab polusi terbesar dunia. Mengapa? Hanya Bank Dunia-lah yang tahu.
Porsi terkecil
Di harian New York Times edisi 22 Maret lalu, Fred Stole dari World Resources Institute, mengatakan secara implisit bahwa upaya pengurangan emisi di Indonesia hanya dimungkinkan dari pengurangan ambisi menjadi pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar dunia dan penghentian penggundulan hutan.
Hutan Amazon, Amerika Latin, dan hutan-hutan di Afrika juga menjadi sararan REDD. Apakah emisi terbesar dunia terjadi di negara-negara berkembang dan pemilik hutan. Daftar pemberi polusi terbesar dunia memperlihatkan hal sebaliknya (lihat Grafik).
Laporan Population 2009, dengan mengutip wartawan lingkungan hidup Fred Pearce, menyebutkan bahwa 500 juta warga terkaya dunia, atau 10 persen dari total penduduk dunia, menyumbang 50 persen terhadap emisi karbon dioksida dunia.
Sekitar tiga setengah miliar penduduk dunia, atau sekitar 50 persen total populasi global, pada umumnya tinggal di negara berkembang, hanya menyumbang 7 persen pada emisi global.
Lalu, mengapa pengganti Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg, yang menggantikan mantan PM Inggris Gordon Brown, sebagai ketua bersama sebuah kelompok panel PBB, langsung mencanangkan pengumpulan dana pendorong REDD?
Mengapa Stoltenberg bukan mendorong penurunan emisi global secara bersamaan, termasuk dengan memaksa AS, menaikkan pengurangan emisi gas buang, lebih dari 7 persen?
Waspadalah dengan REDD. Dengan skema ini, negara maju penyebab polusi terbesar dunia, bisa lari dari tanggung jawab, dengan alasan telah menyumbang dana lewat REDD untuk pengurangan emisi di negara berkembang. Artinya, lewat REDD terjadi pengesahan polusi, lewat justifikasi peningkatan bantuan lewat REDD.
Jangan lupa, pencanangan pertumbuhan ekonomi relatif seiring dengan peningkatan polusi. Peredaman polusi relatif seiring dengan peredaman pembangunan. Farida Akhter, 11 Desember 2009, di OnlineOpinion Australia, bertanya. ”Mengapa setiap kali negara Barat gagal mencapai target penurunan emisi, mata mereka langsung tertuju ke negara berkembang?” (MON)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar