Selasa, 08 Juni 2010

POLITIK, AGAMA, MORALITAS DAN GERAKAN KAUM MUDA


POLITIK, AGAMA, MORALITAS DAN GERAKAN KAUM MUDA
 29 Mei 2010 jam 23:27
Bahwa apabila kita membuka lembaran sejarah umat manusia, pertikaian antar agama lebih banyak dilatari dan didorong oleh kepentingan politik dari pada masalah moral. Yang dimaksud dengan kepentingan politik dalam tulisan ini adalah sebuah kepentingan yang berkaitan dengan kekuasaan atas pengaturan (pemerintah/ wilayah), serta kepentingan bisnis (uang, tanah, aset,dsb). Sedangkan kepentingan moral adalah sebuah keinginan dan harapan untuk menilai dan men-judgment apakah perbuatan seseorang itu baik atau buruk. Standar baik dan buruk tersebut menjadi misi utama bagi seluruh agama di dunia untuk dilegitimasi atau didelegitimasi.
Namun, hari ini kita melihat sebagian elit kita, di Kalbar ini, telah menjadi agama sebagai instrument untuk menjalankan skenario bermuatan politik. Anehnya agama tidak pernah dijadikan instrument oleh mereka untuk mendestruksi persoalan-persoalan moral yang menjadi persoalan pokok tak berkembangnya perikehidupan di lingkungan terdekat mereka.
Demikianlah, saat musim pilkada agama dibawa-bawa untuk menegaskan identitas dan membangun loyalitas umat. Islam-kristen dihadap-hadapkan. Yang beragama Islam dianggap bermasalah ‘moralitas’ ke-Islamannya jika pada saat pilkada ia mendukung dan memilih memilih orang Kristen. Yang Kristen dianggap keluar dari jalan Nya jika tidak memilih calon yang bukan Kristen. Fatwa-fatwa berlatar kitab suci pun bertebaran ke segala penjuru.
Giliran masalah korupsi, agama disingkirkan dari gelanggang. Agama sebagai penjaga moralitas disingkirkan jauh-jauh. Agama tidak dijadikan instrument untuk memerangi praktek-praktek yang pelanggaran moral. Padahal mereka sangat paham bahwa pelanggaran moral telah terjadi demikian hebatnya. Sehingga tak heran jika hingga hari ini tak ada fatwa seorang politikuspun yang diucapkan secara lantang untuk melakukan protes terhadap para pelanggar moral (koruptor) itu.
Padahal mereka, sehari-harinya para politikus yang mengaku mengaku beragama dan rajin menjadikan dalil-dalil agama sebagai alat provokasi itu, tak pernah menjadikan Agama sebagai sandaran dalam merumuskan kebijakan dan pedoman dalam melaksanakan amanah kepemimpinan.
Saya berani mengungkapkan pemikiran di atas karena saya memiliki pengalaman yang cukup menjenuhkan dalam mendampingi para elit. Lebih dari 10 tahun saya berada dalam lingkaran para elit politik di Kalbar, dari kepala Desa, Pak Camat, Bupati hingga Gubernur. Dari pemuka agama (katanya), aktivis LSM (katanya), budayawan (katanya), pimpinan pesantren atau gereja, hingga anggota DPRD.
Saya mengamati perilaku mereka dari dekat bahkan dari posisi yang sangat dekat. Sebagian besar perilaku mereka sama yaitu tak pernah menjadikan Agama sebagai landasan bagi penuntut dalam perilaku kepemimpinan mereka. Walau memang tak semua elit berperilaku ‘mendua’ seperti itu, tapi sebagian besar memang seperti itu.
Sebagian besar para elit yang pernah ‘bercengkrama’ dengan saya itu kebetulan beragama Islam. Jadi saya tidak bermaksud mendiskriditkan pemimpin-pemimpin muslim. Tapi ya hanya menceritakan saja apa yang menjadi pengalaman saya selama ‘bercegkrama’ dengan elit yang beragama Islam.
Jadi, saya juga melihat bahwa mereka telah ber titel ‘Haji’. Mereka sering tampil dengn kopiah hitam mengkilat. Air mukanya cerah dan tampak sangat religius bagaikan air muka seorang bayi tanpa dosa. Ucapan ‘Assalammualaikumnya’ juga sangat fasih, seperti ‘assalammualaikum’nya imam-imam masjid di Negeri Arab. Merekapun sangat dekat dengan para ulama, pengurus masjid, kelompok-kelompok pengajian. Mereka juga sangat sering menggelar acara-acara berbau keagamaan seperti pengajian, dzikir, menyantuni fakir miskin, dsb. Rumah mereka dihiasi oleh hiasan kaligrafi yang indah-indah dan begitu megah. Mereka tampak begitu memahami apa itu agama, berikut dengan standar-standarnya yang sangat keras terhadap pelanggaran moral.
Tapi rasanya sungguh sulit untuk percaya bahwa ternyata di balik penampilan yang begitu agamis itu mereka mereka mampu memanipulasi bantuan untuk masjid dan mushola (lihat hasil temuan BPK), menyunat dana pembangunan masjid raya (silahkan lihat arus cash flow salah satu Masjid terbesar di Kota ini), memanipulasi anggaran bantuan sosial (lihat pertikaian antara para elit Kota Pontianak akhir-akhir ini), melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya (lihat scandal salah satu kepala daerah di Kalbar beberapa tahun yang lalu). Ntah di taruh dimana agama, saat mereka melakukan itu.
Perilaku amoral juga tidak hanya melanda para politikus islam, yang non Islam juga terjadi. Lihatlah berita beberapa waktu yang lalu betapa Paus pusing kepalanya karena banyak pemipin gereja yang terlibat scandal seks. Dan cukup banyak cerita dari mulut-kemulut beberapa pendeta yang memanipulasi sumbangan umat.
Bukankah mereka adalah pemimpin yang tampak sangat kuat dalam beragama. Bukankah mereka sangat dekat dengan para pemuka agama. Bahkan bukankah mereka adalah bagian dari para pemuka agama? Lalu saat punya kepentingan, moral agamanya dimana yah? (Nah lho, pusing ngga’?)
Hari ini tidak hanya di Kalbar, tapi juga di sebagian belahan bumi manusia, orang-orang lebih mementingkan identitas dan simbol-simbol sosial dari pada moralitas. Moralitas telah dipinggirkan dan terpinggirkan. Padahal awalnya bukankah agama diturunkan untuk menegakan moralitas. Bukankah pada awalnya agama hadir tanpa simbol dan identitas. Bukankan turunya agama tidak didedikasikan sebagai instrument politik?
Saat ini, ruh yang menyokong gerakan demi tegaknya moral telah terpasung oleh hingar-bingar demokrasi yang syarat dengan konflik politik di dalamnya. Saat ini, Kalbar dan juga Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan moral.
Meniru perjalanan para Nabi yang telah mampu memperbaiki akhlak umatnya dengan gerakan moralitas tanpa identitas (bukankah nama agama baru populer setelah moralitas telah dianggap beres?) maka menjadi penting bagi kita kaum muda, untuk menjadikan moral sebagai frame of movement. Menjadi penting bagi kita, para kaum muda, untuk tidak menjadikan identitas dan simbol agama sebagai dasar dalam mengambil keputusan. Singkatnya,saatnyalah bagi kita untuk menjadikan moralitas sebagai satu-satunya standar untuk menentukan langkah dan menetapkan sikap atas perilaku para politikus (tua) saat ini.
Gerakan penegakan moralitas ini tidak boleh memperdulikan latar belakang agama, terlebih etnis. Mereka yang bersalah tidak boleh kita perkenan untuk bersembunyi dibalik kepentingan agama dan etnis, sebagaimana yang sering terjadi akhir-akhir ini.
Oleh karena itu, jika kita membenarkan pendapat bahwa kritik dan protes terhadap pemimpin yang beragama A maka hal itu berarti akan menguntungkan kelompok yang beragama B, maka itu berarti kita telah masuk dalam frame politik yang mereka buat. Frame yang menjadikan Agama dan etnis sebagai instrument dan benteng untuk melindungi kepentingan politik pragmatis mereka.
Frame politik itu telah usang dan telah terbukti tak mampu memberkan kotribusi bagi kemajuan bangsa. Frame politik itu harus kita gantikan dengan yang baru. Kita memerlukan sebuah gerakan besar untuk membuat frame berpikir itu. Gerakan yang sebanding dengn gerakan para nabi.
Seperti apa, apa dan bagaimana, sile lah kite isi diskusi ini. (hehe capek ga nulis neh)
Pontianak, 29 Mei 2010.
Bungben Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar