Keyakinan Perang
Membaca sajak PJS yang berjudul Seorang Perempuan....dalam Perang, saya jadi teringat dengan proses sejarah manusia dari berbagai belahan bumi.
Sepanjang sejarah manusia telah ribuan pemimpin yang berupaya untuk menyusun cara pandang, standar moral hingga doktrin di kepala manusia demi terbangunnya keyakinan para pengikutnya.
Keyakinan itu sangat penting karena mereka tahu bahwa keyakinan adalah bahan bakar non material yang sangat murah namun memiliki daya hancur yang sangat dahsyat. Dengan keyakinan, sebuah kota yang telah dibangun berabad-abad dapat hancur seketika (hirosima, nagasaki, dan ribuan kota di sejarah panjang bangsa China, Arab, Anglo-Saxon, dan Asia Tenggara). Dengan keyakinan pembunuhan massal dibenarkan (Perang Salib, pembantai orang Yahudi oleh Hitler, pembantaian orang komunis oleh Suharto, dll). Dengan keyakinan, seorang penakutpun bisa berubah seketika menjadi menjadi makhluk yang ganas lagi beringas (lebih dekat lihat kekejaman konflik etnis di Sambas).
Perangpun menjadi sebuah instrument tekhnis untuk menghancurkan dan mengembangkan keyakinan baru.
Entah berapa ribu kali perang dilakukan oleh masyarakat manusia di dunia ini. Entah berapa ribu kali peradaban dan keyakinan manusia di bumi ini hancur, lalu berganti dengan yang baru, lalu hancur lagi.
Para pemimpin yang hidup setelah itu, menggunakan satu atau beberapa dimensi sejarah peradaban yang telah lalu sebagai argumen demi meneguhkan keyakinan baru untuk mempengaruhi para pengikutnya. Keyakinan itu dibangun ulang untuk mendorong kembali gagasan-gagasan baru tentang proses penghancuran seperti yang sudah-sudah.
Oleh sebagian orang, yang hidup pada saat keyakinan itu mulai diterima, perang dan penghancuran antar peradaban manusia dilegitimasi sebagai sebuah kebenaran tindakan.
Sayangnya, saat keyakinan itu dijalankan dan dijaga oleh para penguasanya, tak banyak orang yang berani menggugat kebenaran itu. Padahal sejarah telah berkali-kali memberikan pelajaran kepada kita bahwa keyakinan itu selalu runtuh selaras dengan runtuhnya benteng pertahanan bangsa-bangsa di dunia.
Kita meyakini bahwa sesungguhnya sebuah kebenaran haruslah berlandaskan pada cinta, ketulusan dan kasih sayang, bukan ambisi! Bukan anarki!
Tapi kitapun sangat memahami bahwa tanpa ambisi dan anarki, bumi manusia akan berhenti berputar!
Jumaat, 10 Mei 2010
Sepanjang sejarah manusia telah ribuan pemimpin yang berupaya untuk menyusun cara pandang, standar moral hingga doktrin di kepala manusia demi terbangunnya keyakinan para pengikutnya.
Keyakinan itu sangat penting karena mereka tahu bahwa keyakinan adalah bahan bakar non material yang sangat murah namun memiliki daya hancur yang sangat dahsyat. Dengan keyakinan, sebuah kota yang telah dibangun berabad-abad dapat hancur seketika (hirosima, nagasaki, dan ribuan kota di sejarah panjang bangsa China, Arab, Anglo-Saxon, dan Asia Tenggara). Dengan keyakinan pembunuhan massal dibenarkan (Perang Salib, pembantai orang Yahudi oleh Hitler, pembantaian orang komunis oleh Suharto, dll). Dengan keyakinan, seorang penakutpun bisa berubah seketika menjadi menjadi makhluk yang ganas lagi beringas (lebih dekat lihat kekejaman konflik etnis di Sambas).
Perangpun menjadi sebuah instrument tekhnis untuk menghancurkan dan mengembangkan keyakinan baru.
Entah berapa ribu kali perang dilakukan oleh masyarakat manusia di dunia ini. Entah berapa ribu kali peradaban dan keyakinan manusia di bumi ini hancur, lalu berganti dengan yang baru, lalu hancur lagi.
Para pemimpin yang hidup setelah itu, menggunakan satu atau beberapa dimensi sejarah peradaban yang telah lalu sebagai argumen demi meneguhkan keyakinan baru untuk mempengaruhi para pengikutnya. Keyakinan itu dibangun ulang untuk mendorong kembali gagasan-gagasan baru tentang proses penghancuran seperti yang sudah-sudah.
Oleh sebagian orang, yang hidup pada saat keyakinan itu mulai diterima, perang dan penghancuran antar peradaban manusia dilegitimasi sebagai sebuah kebenaran tindakan.
Sayangnya, saat keyakinan itu dijalankan dan dijaga oleh para penguasanya, tak banyak orang yang berani menggugat kebenaran itu. Padahal sejarah telah berkali-kali memberikan pelajaran kepada kita bahwa keyakinan itu selalu runtuh selaras dengan runtuhnya benteng pertahanan bangsa-bangsa di dunia.
Kita meyakini bahwa sesungguhnya sebuah kebenaran haruslah berlandaskan pada cinta, ketulusan dan kasih sayang, bukan ambisi! Bukan anarki!
Tapi kitapun sangat memahami bahwa tanpa ambisi dan anarki, bumi manusia akan berhenti berputar!
Jumaat, 10 Mei 2010
Bungben Pontianak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar